DECEMBER 9, 2022
Internasional

Marty Natalegawa: Reformasi Tata Kelola Global Juga Perlu Mengubah Pola Pikir

image
Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 Marty Natalegawa menyampaikan pernyataannya dalam agenda peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika oleh CSIS Indonesia di Jakarta, Rabu, 16 April 2025. (ANTARA/Nabil Ihsan/aa.)

ORBITINDONESIA.COM - Reformasi tata kelola global bukan hanya mengubah organisasi, metodologi, dan keanggotaan, tetapi juga mengubah pola pikir, menurut mantan menteri luar negeri RI Marty Natalegawa.

“Kita memerlukan manifestasi konkret dan contoh cepat untuk menggambarkan bagaimana tata kelola global seharusnya terlihat,” kata Marty Natalegawa dalam acara peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) oleh CSIS Indonesia di Jakarta, Rabu, 16 April 2025.

Dalam pidatonya, Marty Natalegawa juga mengkritik penggunaan kalimat “kami adalah jembatan” yang tidak disertai dengan gagasan stabilitas strategis secara rinci seperti yang dilakukan negara-negara Selatan.

Baca Juga: Kemlu RI Kembali Berhasil Keluarkan 169 Warga Negara Indonesia dari Myawaddy, Myanmar

“Jembatan macam apa? Anda tidak bisa sekadar mendapatkan peran sebagai jembatan dengan mengulang mantra itu. Anda harus mendapatkan kepercayaan, keyakinan. Reputasi harus diusahakan,” ujar Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 itu.

Dia juga mengatakan, multilateralisme adalah sebuah paradigma dan salah satu ancaman terhadap multilateralisme adalah kebijakan luar negeri yang berorientasi ke dalam yang dilakukan beberapa negara belahan bumi selatan.

“Pandangan anti-globalis dan anti-multilateralis bukanlah satu-satunya yang dimiliki oleh apa yang disebut negara-negara besar. Pandangan ini juga terwujud di negara-negara lain,” ujar Marty.

Baca Juga: Kemlu RI: 6 Warga Indonesia Meninggal Dalam Kecelakaan Bus Rombongan Umrah di Arab Saudi

Dia menyebutkan, telah terjadi fragmentasi, perpecahan geopolitik yang semakin dalam dan luas hingga memengaruhi isu-isu global lainnya seperti teknologi dan perdagangan.

Selain hambatan pada multilateralisme, kata Marty, terjadi juga hambatan pada diplomasi.

“Diplomasi dipandang sebagai tanda kelemahan, kepatuhan, bahkan penenangan,” ucapnya.

Baca Juga: Kemlu RI: Indonesia Tak Akan Izinkan Pembangunan Pangkalan Militer Asing di Tanah Air

Namun, fakta bahwa negara-negara menghadapi masalah-masalah tersebut justru membuktikan bahwa Dasasila Bandung yang muncul untuk menghadapi situasi geopolitik pada 1955 masih berlaku hingga sekarang, kata Marty.

Halaman:

Berita Terkait