Catatan Denny JA: Royalti Lagu di Indonesia dan Kisah Keenan Nasution Menuntut Rp24,5 Miliar
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 12 Juni 2025 08:07 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah pagi yang lengang, Keenan Nasution membuka kembali lembaran hidup yang telah ia tutup puluhan tahun lalu: lagu Nuansa Bening.
Lagu itu diciptakannya pada 1978, di masa ketika idealisme musik belum tercampur oleh mekanisme industri. Bagi banyak orang, lagu itu hanya sebait melodi indah.
Tapi bagi Keenan, lagu itu adalah potongan jiwanya. Dan potongan itu, katanya, telah lama diambil tanpa izin.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Berbakatkah Saya Menjadi Orang Kaya?
Pada 2008, Vidi Aldiano merilis versi cover Nuansa Bening dalam album debutnya Pelangi di Malam Hari.
Sejak itu, lagu tersebut tampil ratusan kali dalam konser, televisi, dan platform digital.
Namun menurut Keenan, tak pernah ada perjanjian komersial yang sah, tak ada aliran royalti yang layak, bahkan sekadar pencantuman nama yang konsisten pun kerap terlewat.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights
Ia ingat pernah ada permintaan lisan dari ayah Vidi, Harry Kiss, tapi tak pernah berkembang menjadi kesepakatan resmi.
Setelah 16 tahun berlalu, Keenan dan Rudi Pekerti—rekan penulis lagu—menggugat Vidi Rp 24,5 miliar atas pelanggaran hak cipta dalam 31 penampilan komersial. Ini bukan sekadar gugatan hukum.
Ini adalah penagihan diam yang terlalu lama tertahan. Ini, kata Keenan, tentang harga diri seorang pencipta.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai
Namun cerita ini tidak hanya tentang Keenan.
Di sisi lain, Vidi Aldiano menghadapi ujian yang sangat manusiawi: kanker ginjal stadium 3. Dalam banyak kesempatan, ia tampak enggan berbicara tentang gugatan ini.
Bisa jadi bukan karena ia tak peduli, melainkan karena ia sedang sibuk menyelamatkan hidupnya sendiri. Dalam diamnya, Vidi tampak memilih merawat tubuh, dan mungkin juga hatinya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Elon Musk Akhirnya Meninggalkan Donald Trump
-000-
Hukum di Indonesia sebetulnya sudah memberi ruang bagi Keenan untuk bersuara. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan itu.
Penggunaan karya orang lain tanpa izin untuk tujuan komersial dapat dikenai sanksi maksimal Rp500 juta per pelanggaran.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kecerdasan Spiritual Pun Menjadi Kecerdasan Terpenting
Gugatan Keenan mencakup 31 performa, dari total dugaan 308 penampilan sejak 2008. Jika terbukti, maka jumlah Rp 24,5 miliar itu bukanlah angka yang mengada-ada. Ia berdiri di atas perhitungan hukum yang jelas.
Bahkan permintaan penyitaan rumah Vidi sebagai jaminan eksekusi termasuk praktik wajar dalam gugatan perdata.
Namun seperti gugatan lainnya, ia tetap bergantung pada pembuktian: rekaman, tiket konser, daftar acara, dan konteks komersialnya. Tanpa bukti, hak hanya menjadi harapan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Pembantaian di Final Liga Champions Eropa 2025 dan Filosofi Baru Sepak Bola
Tapi hukum juga tidak berhenti pada angka. Ia bergerak di wilayah yang lebih lembut: rasa keadilan, etika relasi, dan cara kita memuliakan seni.
-000-
Sengketa semacam ini bukan milik Indonesia semata. Dunia telah lebih dulu menghadapi luka yang serupa.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya
Tahun 1976, George Harrison digugat karena lagu My Sweet Lord dianggap menjiplak He’s So Fine milik The Chiffons. Ia mengaku tak sengaja, tapi pengadilan tetap menyatakan pelanggaran.
Harrison membayar lebih dari 1 juta dolar. Itu pelajaran tercatat dalam sejarah hukum musik dunia.
Tahun 2015, Robin Thicke dan Pharrell Williams digugat oleh keluarga Marvin Gaye karena Blurred Lines dinilai meniru “groove” dari Got to Give It Up.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mendengar Obama yang Mendukung Harvard University Melawan Donald Trump
Mereka kalah, dan membayar lebih dari 5 juta dolar. Kasus ini menjadi sinyal bahwa bahkan nuansa musikal pun dapat dilindungi hukum.
Lain halnya dengan Taylor Swift. Ia tak digugat. Namun ketika hak atas master rekaman albumnya dibeli oleh pihak lain, ia merasa kehilangan kendali atas hidup seninya.
Ia tak menggugat. Ia melawan dengan mencipta ulang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kisah Nabi Ibrahim dan Rockefeller yang Sayang Anak, Sebuah Renungan Iduladha
Ia merekam semua albumnya dalam versi baru—Taylor’s Version. Dengan itu, ia merebut kembali otonominya sebagai pencipta, bukan lewat pengadilan, tapi melalui kekuatan kreatif.
Apa yang membedakan mereka dengan kita?
Satu kata: sistem.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Elon Musk Pun Serukan Pemecatan Donald Trump
Di Amerika dan Inggris, sistem pengelolaan royalti telah lama tertata. Lembaga seperti ASCAP, BMI, atau PRS mencatat penggunaan lagu secara otomatis dan mendistribusikan royalti secara adil.
Tidak ada lagi ruang bagi pengingkaran. Tidak ada lagi celah bagi pelupa.
Di Indonesia, sistem ini masih lemah. Maka ketika penghormatan tidak hadir, dan mediasi gagal, sengketa seperti Keenan vs Vidi meledak. Itu segera menjadi konsumsi publik.
-000-
Kasus ini adalah panggilan sadar. Ia membunyikan lonceng bahwa di balik popularitas seorang penyanyi, selalu ada tangan-tangan sunyi yang mencipta.
Mereka bukan wajah layar kaca. Mereka bukan nama besar panggung. Tapi merekalah penyemai pertama dari suara yang kita rayakan.
Pelajaran pertama: Indonesia membutuhkan sistem royalti digital yang transparan dan otomatis.
Tak bisa lagi bergantung pada etika semata. Performa lagu harus tercatat secara digital—dari konser, radio, televisi, hingga platform daring. Tanpa sistem, pencipta akan terus kalah oleh ingatan pendek industri.
Pelajaran kedua: adab mendahului aturan. Jika komunikasi dilakukan sejak awal, jika pencipta dihubungi dan dihormati, kita tak perlu menyaksikan pertemuan mereka di ruang sidang.
Pelajaran ketiga: budaya cover harus dibarengi budaya penghormatan. Lagu yang dinyanyikan ulang harus disertai izin yang sah, pencantuman nama pencipta, dan royalti yang proporsional.
Jika tidak, cover bisa menjadi pencurian yang terbungkus tepuk tangan.
Pelajaran keempat: penyelesaian kreatif kadang lebih abadi dari penyelesaian hukum. Taylor Swift menunjukkannya.
Bahkan George Harrison tetap mencipta setelah digugat. Barangkali suatu hari nanti, Keenan dan Vidi bisa duduk dalam satu konser. Saling memaafkan. Saling memberi tempat.
Karena pada akhirnya, musik bukan tentang kemenangan. Ia tentang perjumpaan hati.
-000-
Pada akhirnya, lagu adalah warisan batin. Ia lahir dari ruang sunyi seorang pencipta. Ia hidup dalam suara seorang penyanyi. Lalu ia bersemayam di hati pendengar.
Keindahannya akan tetap hidup—jika kita menjaganya bukan hanya dengan hukum, tapi juga dengan rasa.
Karena musik, pada dasarnya, bukan hanya untuk didengar.
Tapi untuk dimuliakan.***
12 Juni 2025
Referensi Berita:
* Tempo - Duduk Perkara Vidi Aldiano Digugat Keenan Nasution
• Insertlive - Ini Alasan Keenan Gugat Rp24,5 M
* Kompas TV - Sidang Digelar 11 Juni
* Suara.com - Rossa Kritik Tuntutan Keenan
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World