DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Royalti Lagu di Indonesia dan Kisah Keenan Nasution Menuntut Rp24,5 Miliar

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Sengketa semacam ini bukan milik Indonesia semata. Dunia telah lebih dulu menghadapi luka yang serupa.

Tahun 1976, George Harrison digugat karena lagu My Sweet Lord dianggap menjiplak He’s So Fine milik The Chiffons. Ia mengaku tak sengaja, tapi pengadilan tetap menyatakan pelanggaran.

Harrison membayar lebih dari 1 juta dolar. Itu pelajaran tercatat dalam sejarah hukum musik dunia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Berbakatkah Saya Menjadi Orang Kaya?

Tahun 2015, Robin Thicke dan Pharrell Williams digugat oleh keluarga Marvin Gaye karena Blurred Lines dinilai meniru “groove” dari Got to Give It Up.

Mereka kalah, dan membayar lebih dari 5 juta dolar. Kasus ini menjadi sinyal bahwa bahkan nuansa musikal pun dapat dilindungi hukum.

Lain halnya dengan Taylor Swift. Ia tak digugat. Namun ketika hak atas master rekaman albumnya dibeli oleh pihak lain, ia merasa kehilangan kendali atas hidup seninya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights

Ia tak menggugat. Ia melawan dengan mencipta ulang.

Ia merekam semua albumnya dalam versi baru—Taylor’s Version. Dengan itu, ia merebut kembali otonominya sebagai pencipta, bukan lewat pengadilan, tapi melalui kekuatan kreatif.

Apa yang membedakan mereka dengan kita?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Satu kata: sistem.

Halaman:

Berita Terkait