Catatan Denny JA: Royalti Lagu di Indonesia dan Kisah Keenan Nasution Menuntut Rp24,5 Miliar
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 12 Juni 2025 08:07 WIB

Di Amerika dan Inggris, sistem pengelolaan royalti telah lama tertata. Lembaga seperti ASCAP, BMI, atau PRS mencatat penggunaan lagu secara otomatis dan mendistribusikan royalti secara adil.
Tidak ada lagi ruang bagi pengingkaran. Tidak ada lagi celah bagi pelupa.
Di Indonesia, sistem ini masih lemah. Maka ketika penghormatan tidak hadir, dan mediasi gagal, sengketa seperti Keenan vs Vidi meledak. Itu segera menjadi konsumsi publik.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Berbakatkah Saya Menjadi Orang Kaya?
-000-
Kasus ini adalah panggilan sadar. Ia membunyikan lonceng bahwa di balik popularitas seorang penyanyi, selalu ada tangan-tangan sunyi yang mencipta.
Mereka bukan wajah layar kaca. Mereka bukan nama besar panggung. Tapi merekalah penyemai pertama dari suara yang kita rayakan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights
Pelajaran pertama: Indonesia membutuhkan sistem royalti digital yang transparan dan otomatis.
Tak bisa lagi bergantung pada etika semata. Performa lagu harus tercatat secara digital—dari konser, radio, televisi, hingga platform daring. Tanpa sistem, pencipta akan terus kalah oleh ingatan pendek industri.
Pelajaran kedua: adab mendahului aturan. Jika komunikasi dilakukan sejak awal, jika pencipta dihubungi dan dihormati, kita tak perlu menyaksikan pertemuan mereka di ruang sidang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai
Pelajaran ketiga: budaya cover harus dibarengi budaya penghormatan. Lagu yang dinyanyikan ulang harus disertai izin yang sah, pencantuman nama pencipta, dan royalti yang proporsional.