DECEMBER 9, 2022
Puisi

Cerpen Rusmin Sopian: Ulah Tuan dan Nyonya

image
Ilustrasi - Cerutu (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Asap cerutu dari tuan-tuan menebar aroma wewangian. Menyebar hingga ke ruang taman kekuasaan dibawa angin surga. 

Aroma yang ditebarkan asap cerutu menyusup ke dalam rongga para penghuni taman. 

Mereka merintih. Suara rintihannya amat kencang, bahkan teramat kencang mengguncang gendang telinga yang mulai tidak menerima suara kesedihan.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Karma

Suara rintihan jelata itu tak mampu hentikan para tuan-tuan yang sedang berdiskusi di meja besar, di ruang besar yang bertahta dari mandat suara rakyat, yang kadang terbeli dengan sangat murahnya.

Sementara, aroma kegenitan menebar dari para nyonya-nyonya yang sedang menarikan tarian jiwa. Tarian mereka menebarkan aroma keliaran jiwa. 

Tarian mereka membangkitkan ragawi. Aroma parfum pun mereka pun menebar hingga menusuk hidung.  

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Aku Manusia Enam Setengah Tahun 

Membangkitkan jiwa-jiwa yang jalang. Suara kebahagian keluar dari mulut mereka. Kebahagian terpancar dari jiwa-jiwa mereka usai berdansa ria. Lupakan mereka yang papa. Amnesiakan kaum yang berperut keroncongan.

Di sebuah lapangan kampung, anak-anak pewaris masa depan, berlarian mengejar impian tentang masa depan bersama rerumputan yang mulai kering kerontang. Tanpa alas kaki. Apalagi sepatu. Dengan kaki telanjang.

Anak-anak itu terus berlari dan berlari dengan kaki telanjang. Sementara gunung menatap mereka dengan tatapan penuh kesedihan.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Hidayah dari Anak-anak Dermaga 

Airmata sungai tak lagi mengalir. Kering kerontang. Ikan-ikan mati. Bergelimpangan. Dilahap kerakusan yang mencemari jiwa.

Satu-satunya Pepohonan ringkih dan tua yang masih ada di hutan kecil dekat lapangan Kampung,  tak melambaikan tangannya. Dedaunannya rontok dimakan api keberingasan manusia serakah. Manusia haus kekuasaan. 

Sesekali sepoi angin yang masih bertiup menyapa anak-anak itu. Sesekali saja, ketika senja mulai menghampiri pemukiman warga Kampung yang jalanan nya dihiasi lubang besar yang menganga.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Doa yang Teraniaya 

Anak-anak pewaris masa depan itu masih berlari dan berlari dengan kaki yang masih telanjang dan tetap telanjang.

Sesekali mereka menatap langit yang biru. Seolah ingin mengadu dan mengadu.

”Apakah kami punya masa depan?” gumam mereka dengan suara lesu.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Pil Terakhir 

Langit tak menjawab.

Kadang-kadang mereka bertanya kepada rembulan yang mulai hadir menatap mereka berlari.

”Apakah masa depan kami akan seterang cahayamu, wahai rembulan,” desis mereka.

Baca Juga: Cerpen Airin Regita: Berpisah untuk Sekolah Impian

Rembulan tak menjawab. Sinarnya meredup. 

Terkadang mereka menunggu bintang-bintang di langit untuk mencari jawaban. Dan bintang di langit pun tak menjawab. Cahayanya murung.

Di televisi hitam putih warga yang gambarnya kadang berakrobatik, mereka, para penghuni kota sibuk beradu narasi. Saling membalas komentar. Saling berargumentasi. Dan suara mereka amat keras menembus gendang telinga jelata.

Baca Juga: Pelajar SMAN 1 Toboali, Bangka Selatan Luncurkan Buku Antologi Cerpen "Berani Bermimpi" 

Kadang mengerikan nada intonasi suara mereka. Seakan-akan ingin mengalahkan sambaran halilintar di langit. 

Warga cuma termangu menatap wajah mereka yang berlagak bak pahlawan pembela kaum marginal yang hanya berbekal narasi dan narasi semata.

Kadang kala warga bingung dengan narasi mereka yang beradu suara di layar televisi itu. Warga menatap langit melalui atap rumah yang bocor. Langit terlihat murung. Rembulan pucat pasi. 

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Matinya Tukang Kritik 

Sementara, di dapur, nasi masih dalam hitungan butir. Kopi dan gula pun kering kerontang di toples. Dimakan angin narasi palsu. Semua itu tidak bisa ditebus dengan joget para pesohor di panggung hiburan.

Televisi hitam putih warga masih menyala. Suara mereka di layar televisi makin kencang. Terkadang menakutkan anjing liar yang mencari mangsa di hutan kecil yang masih tersisa di kampung itu.

Suara di televisi masih terdengar dan terdengar. Kali ini suaranya sangat sayup, dan tiba-tiba suara di televisi itu mati sendiri. Ya, mati sendiri.

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Sujud Terakhir Sang Jagoan

Para penghuni Kota pun hanyut dalam mimpi. Bermimpi tentang kedatangan pemimpin baru yang membahagiakan mereka, sang pemberi amanat. Bermimpi tentang kehadiran pemimpin masa depan yang menyejahterakan mereka sebagai pemberi kuasa.

Bukan pemimpin yang memanipulasi suara mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bukan pemimpin yang mengekploitasi suara mereka untuk melanggengkan kekuasaan hingga kiamat tiba.

Cahaya matahari mulai terbangun dari lelapnya. Menerangi langkah kehidupan baru para penghuni Kota dengan wajah-wajah ceria.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Apakah mereka bermimpi?
Adakah hari esok makmur sentosa?

Di kejauhan terdengar lengkingan suara garang rocker Ahmad Albar lewat tape mobil yang berlari kencang bak ingin berkejaran dengan cahaya matahari pagi yang mulai memanjat langit.

Tepi jalan pinggiran kota
Duduk bersimpuh geram menangis
Tangan mencakar muka sendiri
Lelaki itu merintih

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh

Lingkaran orang bisu memandang
Dengar sumpahnya berulang kali
Batin menyimpan luka yang sama
Sampai tak bisa apa-apa

Dia meminta semua miliknya
Yang telah terampas disikat pemaksa
Dia menggugat jalan hidupnya
Yang telah digilas penindas

Habang, 2025

Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ulah Tuan dan Nyonya

*Rusmin Sopian adalah penulis dan pegiat literasi di Toboali, Bangka Selatan. Saat ini tinggal di Toboali bersama istri dan dua putrinya yang cantik serta kakek dari seorang cucu pertama yang bernama Nayyara Aghnia Yuna. ***

Halaman:

Berita Terkait