Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 07 Maret 2025 18:54 WIB

Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (5)
ORBITINDONESIA.COM - Malam itu, di sudut kota Fez, Maroko, seorang lelaki tua duduk di lantai Masjid Qarawiyyin. Tangannya yang keriput menggenggam mushaf kecil. Sorot matanya menerawang ke langit-langit yang dipenuhi kaligrafi berusia ratusan tahun.
Namanya Sheikh Ahmad. Sejak usia belia, ia telah menjadi tempat bertanya bagi banyak murid tentang kisah nabi, hukum syariah, tafsir Quran, dan makna hidup.
Namun, beberapa tahun terakhir, kursinya semakin jarang didatangi. Murid-muridnya kini lebih sering menggenggam ponsel, menatap layar, dan mengajukan pertanyaan kepada sesuatu yang tak berbentuk: kecerdasan buatan.
“Apakah bunga bank haram?”
AI menjawab dengan berbagai tafsir: pendapat Imam Hanafi, Imam Syafi’i, hingga fatwa dari Dewan Ulama Internasional.
“Apa itu negara menurut Islam?” Artificial Intelligence (AI) menjawab dengan ringkasan filsafat Ibn Arabi, Al-Ghazali, bahkan membandingkannya dengan pemikiran Buddha dan Nietzsche.
Sheikh Ibrahim terdiam. Ia bukan lagi satu-satunya jembatan antara manusia dan wahyu.
Di belahan dunia lain, di sebuah gereja kecil di Florence, Pastor Antonio menghadapi dilema yang serupa. Jemaatnya lebih tertarik menonton khotbah virtual dari AI yang mampu menirukan suara Paus Fransiskus dengan sempurna.
Di Biara Shaolin, seorang biksu muda termenung. Ajaran Zen yang dulu diajarkan melalui latihan bertahun-tahun kini dapat dirangkum oleh algoritma dalam hitungan detik.
Apakah ini pertanda akhir peran pemuka agama?
-000-
Dahulu, pemuka agama adalah mercusuar. Mereka penjaga pintu wahyu, penafsir kitab, dan penyambung lidah Tuhan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Bertahan Bukan Karena Kebenaran Fakta Sejarahnya
Namun, era AI telah mendemokratisasi akses terhadap pengetahuan agama. Dengan AI seperti ChatGPT, Perplexity, DeepSeek, siapa pun bisa mencari tafsir agama dalam hitungan detik.
AI dapat membaca seluruh kitab suci lintas agama, membandingkan tafsir, bahkan memprediksi perdebatan teologis berdasarkan data sejarah.
Tidak ada lagi dominasi satu mazhab. Tidak berlaku lagi monopoli kebenaran. Seorang santri di Jawa kini bisa membaca tafsir Ibnu Katsir, membandingkannya dengan komentar Rumi, lalu mencari makna simboliknya dalam perspektif psikologi Jungian.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience
Semua ia dengarkan dalam satu malam, tanpa harus berguru selama bertahun-tahun.
Di gereja, seorang jemaat yang gelisah bisa bertanya kepada AI: “Bagaimana Yesus memandang perkawinan?”
Jawabannya bisa beragam, dari perspektif teologi Katolik, Protestan, hingga teologi pembebasan di Amerika Latin.
Di vihara, seorang biksu pemula bisa merenungkan pertanyaan tentang nirwana, dan AI akan menyuguhkan jawaban dari Tripitaka, komentar Nagarjuna, serta wawasan dari psikologi modern.
Informasi yang dulu eksklusif kini menjadi milik semua orang.
-000-
Mengapa AI mengurangi peran perantara agama? Itu karena informasi agama tidak lagi dimonopoli, tapi terdistribusi.
Dulu, hanya pemuka agama yang memiliki akses ke teks suci dan tafsirnya. Kini, AI mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan tafsir dari berbagai aliran. Lalu, AI memberi umat kebebasan untuk memilih mana yang paling masuk akal bagi mereka.
Dogma kehilangan taringnya. Kebenaran menjadi spektrum, bukan monopoli.
Agama menjadi lebih personal dan kritis. Sebelumnya, banyak pertanyaan tabu dalam agama yang tidak boleh ditanyakan kepada pemuka agama.
Namun, AI tidak memiliki sensor ideologis. Ia bisa menjawab pertanyaan paling sensitif, misalnya apakah semua agama sama? Bagaimana jika Tuhan tidak ada? Apakah surga dan neraka hanyalah metafora?
Tidak ada intimidasi dalam jawaban AI. Tidak ada dogma. Hanya jawaban yang berbasis data dan filsafat.
Umat tidak lagi bergantung pada ritual dan otoritas. AI bisa menulis khutbah dan doa berdasarkan analisis teks suci. AI bisa menciptakan liturgi baru berdasarkan psikologi manusia.
AI bisa membimbing meditasi dan memberikan pengalaman mistik berbasis teknologi. Apakah ini artinya pemuka agama tidak lagi dibutuhkan?
-000-
Ini contoh perubahan peran pemuka agama di era AI, era ketika pencarian fatwa dan tafsir dapat diperoleh secara otomatis.
Dulu: Fatwa hanya bisa didapat dari ulama tertentu. Sekarang: AI bisa menyajikan berbagai fatwa dalam hitungan detik, membuat umat bisa memilih sendiri.
Dulu: Umat harus hadir di tempat ibadah untuk mendengarkan ceramah. Sekarang: AI bisa hadir di kamar umat, dan membuat khutbah yang disesuaikan dengan kepribadian pendengarnya.
Dulu: Doa adalah aktivitas yang diajarkan secara personal oleh pemuka agama. Sekarang: AI bisa memandu doa dan meditasi, bahkan merancang pengalaman spiritual yang disesuaikan dengan kebutuhan individu.
-000-
Apakah pemuka agama akan hilang sepenuhnya? Jawabannya tidak. Namun, mereka yang tidak beradaptasi akan punah.
Pemuka agama yang bertahan adalah mereka yang beradaptasi. Ulama, pendeta, dan biksu yang tetap relevan adalah mereka yang menggunakan AI untuk memperkuat dakwah dan spiritualitasnya. Mereka akan lebih menjadi pembimbing, bukan penguasa dogma.
Agama akan lebih fokus pada dimensi emosional dan komunitas. AI bisa menjelaskan agama, tetapi tidak bisa menggantikan pengalaman emosional dan kebersamaan dalam komunitas keagamaan.
Tempat ibadah masih akan bertahan sebagai ruang sosial dan spiritual.
Spiritualitas akan menggantikan dogmatisme. Dogma semakin longgar, sementara pencarian makna semakin individual.
Pemuka agama yang bertahan adalah mereka yang membantu umat menemukan makna hidup, bukan sekadar mengajarkan hukum dan aturan.
-000-
Apa metodologi yang saya gunakan untuk menarik kesimpulan ini?
Tersedia pendekatan ethno-digital. Ia menggabungkan etnografi klasik dengan analisis digital untuk memahami pengalaman keagamaan dalam dunia yang semakin terdigitalisasi.
Etnografi tradisional mengandalkan observasi langsung terhadap komunitas agama. Sedangkan ethno-digital memasukkan interaksi dalam ruang digital, algoritma AI, dan big data sebagai bagian dari lanskap keagamaan yang baru.
Kita bisa meneliti bagaimana individu menggunakan AI (seperti ChatGPT, Google Bard, atau aplikasi keagamaan) untuk memahami agama.
Juga, kita bisa melacak pola pencarian informasi agama di mesin pencari dan media sosial. Atau kita menganalisis interaksi dalam komunitas digital (misalnya forum Islami, gereja virtual, atau platform meditasi online).
Juga, kita bisa menganalisis testimoni di media sosial atau grup diskusi online mengenai pengalaman memahami agama melalui AI.
Saya sendiri memilih focus group discussion dan depth interview kepada 30 aktivis keagamaan untuk mendengar pengalaman mereka semakin menggunakan aplikasi AI untuk mencari info keagamaan.
Berdasarkan survei nasional LSI Denny JA, 2024, ada kecenderungan, semakin muda usia, semakin lebih banyak menggunakan teknologi baru. Semakin tinggi pendidikan, semakin juga menggunakan aplikasi baru.
Apa yang baru dalam pendekatan ethno-digital? Metodologi ini memungkinkan kita menangkap perubahan mendalam dalam cara individu memahami agama.
Itu dilakukan tanpa perlu terjebak dalam dikotomi klasik antara agama dan sekularisme.
Alih-alih melihat AI sebagai ancaman terhadap agama, ethno-digital menyoroti bagaimana AI justru menciptakan bentuk baru pengalaman religius yang lebih personal dan berbasis pilihan individu.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya memahami bagaimana sumber informasi agama berubah. Tetapi kita mengerti juga bagaimana esensi pemahaman agama bergeser dari otoritas institusional ke pengalaman digital yang lebih demokratis dan cair.
-000-
Tentu ada kritik terhadap optimisme bahwa AI akan membuat peran ulama, pendeta, dan biksu memudar. Optimisme itu mengabaikan dimensi terdalam dari spiritualitas.
menurut kritik itu, agama bukan sekadar transfer informasi atau tafsir teks suci. Agama adalah pengalaman batin, kebijaksanaan yang tumbuh dari kehidupan nyata, dan hubungan emosional antara guru dan murid.
AI mungkin mampu mengolah ayat-ayat, menjawab pertanyaan teologis, bahkan meniru gaya berbicara pemuka agama. Tetapi AI tidak bisa memberikan empati sejati, merasakan penderitaan manusia, atau menginspirasi dengan kehadiran yang penuh welas asih.
Keberadaan pemimpin spiritual tidak hanya tentang memberikan jawaban, tetapi juga menjadi contoh hidup. Ulama, pendeta atau biksu mendengarkan dengan hati, dan menyentuh jiwa dengan cara yang tak bisa direplikasi oleh kecerdasan buatan.
Kritik itu benar tapi dengan catatan. Memang AI bukan ancaman, tetapi alat. Sejarah menunjukkan bahwa teknologi selalu mengubah cara manusia menyampaikan dan memahami ajaran spiritual.
Ulama, pendeta, dan biksu yang memanfaatkan AI justru akan memperluas jangkauan dakwah, membawa kebijaksanaan agama ke lebih banyak orang dengan cara yang lebih relevan.
AI bisa mengotomatisasi tugas administratif, menyaring informasi, dan mempercepat penyebaran pengetahuan, tetapi tetap membutuhkan manusia untuk menjiwai ajaran itu.
Pemimpin spiritual yang beradaptasi akan tetap menjadi pemandu, bukan digantikan. Mereka justru diperkuat oleh teknologi untuk menjalankan tugasnya dengan lebih luas dan mendalam.
-000-
Ini prinsip keempat yang saya susun dari tujuh prinsip membangun teori sosiologi agama dan spiritualitas di era AI. Dalam prinsip keempat itu, diteliti hubungan dua variabel: memahami agama versus sumber informasi agama.
Apa yang baru dari paparan di atas, yang belum dijelaskan oleh sosiologi klasik era Durkheim dan Max Weber.
Dalam sejarah panjang sosiologi agama, pemuka agama selalu memegang peran sentral sebagai perantara wahyu dan penjaga otoritas spiritual.
Max Weber menyebut mereka sebagai charismatic leaders, yang otoritasnya didasarkan pada legitimasi keilahian.
Émile Durkheim menyoroti bagaimana agama berfungsi sebagai perekat sosial, dengan pemuka agama sebagai pengendali norma dan ritual kolektif.
Namun, era AI menghadirkan fenomena baru yang tidak pernah sepenuhnya terbayangkan oleh para pendiri sosiologi agama. Ini era runtuhnya monopoli pengetahuan agama dan pergeseran otoritas spiritual dari individu ke algoritma.
AI menggantikan peran pemuka agama sebagai penafsir teks suci. Kini, AI seperti ChatGPT mampu mengolah jutaan tafsir dalam hitungan detik.
Seorang individu tidak lagi membutuhkan guru khusus untuk memahami makna sebuah ayat. Ia cukup dengan mengetikkan pertanyaan. AI akan menyajikan jawaban berdasarkan berbagai sumber lintas mazhab dan agama.
Juga yang baru, spiritualitas menjadi lebih personal dan demokratis.
Sosiologi agama klasik sering melihat otoritas agama sebagai struktur hierarkis, dari institusi ke jemaat.
AI mendisrupsi struktur ini dengan memberikan akses yang setara kepada semua individu. Seorang Muslim di pedalaman Afrika kini bisa mempelajari teologi Islam dari perspektif Sufi, Salafi, atau Ahmadiyah dengan mudah.
Seorang Kristen di Eropa bisa mengeksplorasi perbandingan antara teologi Protestan dan Katolik tanpa harus bergantung pada gereja.
Dogma melemah, tetapi agama tidak hilang. Dulu, dogma bertahan karena dikontrol oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Kini, dogma menghadapi tantangan besar karena AI memberikan jawaban alternatif untuk setiap pertanyaan.
Era AI bukan akhir dari agama, tetapi awal dari fase baru ketika agama lebih cair, lebih personal, dan lebih menekankan pengalaman ketimbang dogma.
Kehadiran Tuhan tak hanya ditemukan di kitab suci, tetapi juga dalam denyut data dan kecerdasan buatan. Yang memahami ini akan menjadi pemandu. Yang menolaknya, akan menjadi kenangan.”***
Jakarta, 7 Maret 2025
CATATAN
(1) Sekilas soal metodologi ethno-digital
https://sago.com/en/resources/blog/everything-you-need-to-know-about-digital-ethnography/