DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ulama, pendeta, dan biksu yang memanfaatkan AI justru akan memperluas jangkauan dakwah, membawa kebijaksanaan agama ke lebih banyak orang dengan cara yang lebih relevan. 

AI bisa mengotomatisasi tugas administratif, menyaring informasi, dan mempercepat penyebaran pengetahuan, tetapi tetap membutuhkan manusia untuk menjiwai ajaran itu. 

Pemimpin spiritual yang beradaptasi akan tetap menjadi pemandu, bukan digantikan.  Mereka justru  diperkuat oleh teknologi untuk menjalankan tugasnya dengan lebih luas dan mendalam.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

-000-

Ini prinsip keempat yang saya susun dari tujuh prinsip membangun teori sosiologi agama dan spiritualitas di era AI. Dalam prinsip keempat itu, diteliti hubungan dua variabel: memahami agama versus sumber informasi agama.

Apa yang baru dari paparan di atas, yang belum dijelaskan oleh sosiologi klasik era Durkheim dan Max Weber.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Khotbah Filsafat Hidup Lewat Lagu, Inspirasi Film Bob Dylan A Complete Unknown (2024)

Dalam sejarah panjang sosiologi agama, pemuka agama selalu memegang peran sentral sebagai perantara wahyu dan penjaga otoritas spiritual.

Max Weber menyebut mereka sebagai charismatic leaders, yang otoritasnya didasarkan pada legitimasi keilahian.

Émile Durkheim menyoroti bagaimana agama berfungsi sebagai perekat sosial, dengan pemuka agama sebagai pengendali norma dan ritual kolektif.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Semakin Penting Agama Bagi Populasi di Suatu Negara, Semakin Tinggi Korupsi di Negara Itu?

Namun, era AI menghadirkan fenomena baru yang tidak pernah sepenuhnya terbayangkan oleh para pendiri sosiologi agama. Ini era runtuhnya monopoli pengetahuan agama dan pergeseran otoritas spiritual dari individu ke algoritma.

Halaman:

Berita Terkait