Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 07 Maret 2025 18:54 WIB

Apa yang baru dalam pendekatan ethno-digital? Metodologi ini memungkinkan kita menangkap perubahan mendalam dalam cara individu memahami agama.
Itu dilakukan tanpa perlu terjebak dalam dikotomi klasik antara agama dan sekularisme.
Alih-alih melihat AI sebagai ancaman terhadap agama, ethno-digital menyoroti bagaimana AI justru menciptakan bentuk baru pengalaman religius yang lebih personal dan berbasis pilihan individu.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya memahami bagaimana sumber informasi agama berubah. Tetapi kita mengerti juga bagaimana esensi pemahaman agama bergeser dari otoritas institusional ke pengalaman digital yang lebih demokratis dan cair.
-000-
Tentu ada kritik terhadap optimisme bahwa AI akan membuat peran ulama, pendeta, dan biksu memudar. Optimisme itu mengabaikan dimensi terdalam dari spiritualitas.
menurut kritik itu, agama bukan sekadar transfer informasi atau tafsir teks suci. Agama adalah pengalaman batin, kebijaksanaan yang tumbuh dari kehidupan nyata, dan hubungan emosional antara guru dan murid.
AI mungkin mampu mengolah ayat-ayat, menjawab pertanyaan teologis, bahkan meniru gaya berbicara pemuka agama. Tetapi AI tidak bisa memberikan empati sejati, merasakan penderitaan manusia, atau menginspirasi dengan kehadiran yang penuh welas asih.
Keberadaan pemimpin spiritual tidak hanya tentang memberikan jawaban, tetapi juga menjadi contoh hidup. Ulama, pendeta atau biksu mendengarkan dengan hati, dan menyentuh jiwa dengan cara yang tak bisa direplikasi oleh kecerdasan buatan.
Kritik itu benar tapi dengan catatan. Memang AI bukan ancaman, tetapi alat. Sejarah menunjukkan bahwa teknologi selalu mengubah cara manusia menyampaikan dan memahami ajaran spiritual.