DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (4)

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah sudut Kyoto, di antara hutan bambu yang berbisik ditiup angin, berdiri sebuah kuil yang berbeda dari yang lain. 

Tidak ada patung dewa, tidak ada dupa yang mengepul, tidak ada doa yang dipanjatkan. Di sana, hanya ruang hening yang terbuka bagi siapa saja yang datang untuk duduk, merenung, dan mendengarkan suara batinnya sendiri.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho

Di salah satu dinding kayunya yang lapuk oleh waktu, terukir kalimat yang menggugah:

“Kebahagiaan bukanlah hadiah dari langit. Ia harus ditemukan di dalam diri sendiri.”

Para peziarah datang, bukan untuk memohon berkat, tetapi untuk memahami kehidupan mereka dengan cara yang lebih dalam. Mereka yang gelisah menemukan ketenangan. Mereka yang tersesat menemukan arah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

Kuil ini adalah simbol dari zaman yang sedang berubah. Dahulu, manusia datang ke tempat suci untuk mencari jawaban.

Kini, mereka datang untuk menemukan diri sendiri. Di era modern, pencarian makna dan kebahagiaan tak lagi hanya bergantung pada dogma agama.

Sains, dengan segala temuannya, telah mengungkap cara-cara lain yang lebih konkret, lebih teruji, dan lebih bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Khotbah Filsafat Hidup Lewat Lagu, Inspirasi Film Bob Dylan A Complete Unknown (2024)

-000-

Dulu, seseorang bertanya bagaimana cara menjalani hidup yang bahagia? Jawabannya selalu kembali pada satu hal: agama. Doa, ibadah, dan kepasrahan adalah kunci yang diajarkan turun-temurun.

Tetapi dunia bergerak maju. Psikologi positif, dengan riset-risetnya, telah menemukan pola yang berbeda. Zaman dapat membawa manusia menuju kebahagiaan dengan cara yang lebih dapat diukur.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Semakin Penting Agama Bagi Populasi di Suatu Negara, Semakin Tinggi Korupsi di Negara Itu?

Manusia bukan lagi sekadar makhluk yang menunggu anugerah dari langit. Mereka adalah arsitek dari kebahagiaan mereka sendiri.

Neurosains membuktikan bahwa rasa syukur, misalnya, bukan hanya konsep spiritual. Ia juga sebuah latihan mental yang dapat mengubah struktur otak, meningkatkan hormon kebahagiaan, dan mengurangi kecemasan.

Hubungan sosial yang sehat bukan hanya anjuran moral, tetapi kebutuhan biologis yang telah terbukti memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Bertahan Bukan Karena Kebenaran Fakta Sejarahnya

Bukti telah banyak berbicara. Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia bukanlah negara yang paling religius. 

Denmark, Finlandia, Norwegia menjadi tempat agama tidak lagi mendominasi kehidupan sehari-hari. Di sana justru menjadi rumah bagi masyarakat yang paling puas dengan hidup mereka.

Sementara itu, negara-negara dengan tingkat religiositas yang tinggi sering kali justru bergulat dengan stres, ketimpangan, dan ketidakadilan.

Saya melakukan riset kuantitatif  meliputi 112 negara dengan analisis dua variabel. Pertama, variabel seberapa penting agama bagi populasi di negara itu, dari Gallup Poll (2009). 

Kedua, variabel World Happiness Index dari PBB, yang tersedia, yang paling dekat dengan tahun 2009 agar berada di waktu yang sama dengan data Gallup Poll di atas. Ditemukanlah data Happiness indeks tahun 2012. 

Test dilakukan kembali dengan menggunakan data terbaru, Happiness Index tahun 2023.

Ketika dua variabel itu dicarikan korelasinya, korelasi Pearson, hasilnya adalah -0,478. Ini artinya, semakin banyak populasi satu negara menganggap agama penting, semakin rendah indeks kebahagiaan di negara itu. 

Angka korelasi Pearson untuk data tahun 2021, juga tak berubah: - 0,478. (1)

Perlu juga dinyatakan bahwa korelasi ini bukanlah hubungan sebab akibat. Besarnya prosentase populasi yang menganggap agama penting bukanlah penyebab, tapi hanya berkorelasi, hadir secara terbalik dengan indeks kebahagiaan.

Semakin penting agama berkorelasi dengan indeks kebahagiaan yang semakin rendah. Mengapa? Sangat mungkin ini karena hadirnya variabel lain, yang disebut cofounding variables.

Misalnya di negara yang mayoritas populasi menganggap agama penting bukan negara yang industri yang kaya raya, dengan pendidikan tinggi, dan program kesejahteraan masyarakat yang penuh.

Comfounding variable ini ikut menyebabkan tinggi dan rendahnya indeks kebahagiaan.

-000-

Jika di masa lalu agama  satu-satunya cahaya yang menerangi perjalanan hidup manusia, kini ada cahaya lain yang muncul dari temuan sains.

Positive psychology dan neuroscience telah mengungkap kebahagiaan bukan sekadar anugerah dari langit, melainkan hasil dari pola hidup yang bisa dipelajari dan dipraktikkan.

Saya menelusuri aneka riset sepanjang 30 tahun dari positive psychology dan neuroscience. Dari sana, saya melahirkan konsep “3P + 2S”, sebuah formula yang menawarkan jalan baru bagi manusia modern untuk mencapai kesejahteraan psikologis dan hidup yang lebih bermakna.

Dari 3P itu, P pertama adalah Personal Relationship. Di pusat kehidupan yang bahagia, ada sesuatu yang tak tergantikan: hubungan yang bermakna. Sepanjang sejarah, manusia selalu menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan.

Para filsuf dari berbagai zaman, dari Aristoteles hingga Confucius, telah menekankan hidup yang baik itu hidup yang dipenuhi oleh hubungan yang sehat. Dan kini, riset ilmiah membuktikannya.

Studi Harvard yang berlangsung lebih dari tujuh dekade menemukan satu kesimpulan tak terbantahkan. Kualitas hubungan sosial seseorang menentukan seberapa bahagia dan sehat hidupnya.

Bukan kekayaan, bukan kesuksesan, bukan popularitas, tetapi hubungan yang tulus dan mendalam yang menjadi fondasi bagi hidup bahagia.

Hubungan yang baik, entah dengan pasangan, keluarga, sahabat, atau komunitas, adalah pilar pertama dalam menemukan kebahagiaan yang sejati. Bukan jumlah teman yang membuat seseorang bahagia, tetapi kedalaman dan kehangatan hubungan itu sendiri.

Seseorang yang memiliki satu sahabat sejati sering kali lebih bahagia dibanding mereka yang dikelilingi ratusan kenalan yang dangkal saja.

Namun, hubungan sosial saja tidak cukup. Kebahagiaan juga tergantung pada cara kita memandang dunia. P kedua dari 3P itu adalah Positivity. 

Mereka yang mampu berpikir positif dan mengelola emosi dengan sehat cenderung lebih bahagia daripada mereka yang terjebak dalam pola pikir negatif.

Neurosains telah menunjukkan otak manusia dapat dilatih untuk lebih bahagia melalui kebiasaan-kebiasaan sederhana. Misalnya, sikap bersyukur, berfokus pada solusi, dan menemukan makna dalam setiap pengalaman.

Latihan ini, yang sering kali diremehkan, dapat mengubah cara kerja otak secara nyata. Ia menciptakan lebih banyak momen kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain berpikir positif, kebahagiaan juga lahir dari melakukan sesuatu yang dicintai. Ini P ke-3 dari 3P, yaitu Passion.  Hasrat yang mendalam terhadap suatu hal, memberi seseorang alasan untuk bangun di pagi hari dan menjalani hidup dengan penuh semangat.

Entah itu dalam bentuk pekerjaan, seni, olahraga, atau aktivitas sosial, passion memberikan warna dalam hidup. Orang yang menemukan passion mereka tidak hanya lebih bahagia, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan.

Sedangkan 2S dalam formula itu, S pertama adalah Small Winning, kebahagiaan kecil. Di antara semua elemen yang membentuk kebahagiaan, ada satu hal kecil yang sering kali terabaikan tetapi memiliki dampak besar: kemenangan-kemenangan kecil.

Banyak orang mengira kebahagiaan hanya datang dari pencapaian besar, padahal justru sebaliknya. Kebahagiaan sejati sering kali muncul dari keberhasilan kecil yang kita raih hampir setiap hari.

Menyelesaikan sebuah tugas, mencapai target harian, atau sekadar menjalani hari dengan baik adalah bentuk kemenangan, yang jika dikumpulkan, disyukuri, dan dirayakan, dapat menciptakan kehidupan yang lebih memuaskan.

Namun, di atas semua itu, ada satu unsur yang memberikan kedalaman pada kebahagiaan manusia: spiritualitas. Ini S ke-2 dari 2S dalam formula itu.

Tidak selalu berarti agama dalam arti konvensional, spiritualitas bisa berupa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Bagi sebagian orang, itu berarti hubungan dengan Tuhan. Bagi yang lain, itu bisa ditemukan dalam seni, alam, atau tindakan sederhana yang membawa makna. 

Apa pun bentuknya, spiritualitas memberikan manusia perspektif yang lebih luas. Ia membantu mereka melewati kesulitan dengan lebih tenang. Ia juga memberi rasa tujuan yang lebih dalam.

Di masa lalu, kebahagiaan dianggap sebagai sesuatu yang misterius, tak terjangkau, hanya bisa didapatkan melalui dogma dan ritual keagamaan.

Hari ini, kebahagiaan bukan lagi sekadar konsep abstrak. Ia menjadi ilmu yang bisa dipelajari, dipahami, dan diciptakan. Formula “3P + 2S” menawarkan cara baru untuk mencapainya. (2)

Ini jalan yang lebih ilmiah, lebih universal, dan lebih terbuka bagi siapa saja, terlepas dari latar belakang kepercayaan.

-000-

Apa yang baru dari paparan di atas, yang dapat mengisi kekosongan teori sosiologi agama klasrik?

Di era algoritma, manusia lebih sering menatap layar daripada langit. Agama tak lagi berdiri sendiri sebagai  sumber makna dan kebahagiaan. 

Peradaban telah melahirkan cahaya baru, bukan dari wahyu, tetapi dari sains yang membedah emosi. Juga dari teknologi yang memetakan jiwa. Dari psikologi positif dan neurosains yang juga menggambarkan kebahagiaan dalam gelombang otak.

Esai ini menembus batas sosiologi agama klasik. Durkheim, Weber, dan Marx melihat agama sebagai perekat sosial, sebagai etika ekonomi, sebagai alat kontrol kelas. 

Tetapi tidak ada dari mereka yang hidup di zaman ketika manusia  semakin percaya pada algoritma daripada dogma. Era ketika kebahagiaan lebih banyak dibicarakan dalam seminar psikologi daripada di mimbar keagamaan.

Apa yang baru dari teori ini? Ia menghadirkan analisis kuantitatif yang belum pernah disentuh teori klasik: korelasi Pearson (-0,478) antara religiositas dan kebahagiaan di 112 negara.

Paparan ini juga menunjukkan Sains Sebagai Jalan Baru Menuju Makna Hidup. Jika teori klasik hanya membahas fungsi sosial agama, esai ini menunjukkan manusia bisa merancang kebahagiaan dengan metode ilmiah.

Esai  ini fondasi bagi sosiologi agama di era digital. Ini gugatan terhadap teori klasik yang tak menjelaskan pergeseran peradaban. 

Jika Marx menyebut agama sebagai candu, jika Durkheim menyebutnya sebagai perekat sosial, maka di era AI, agama hanyalah satu dari banyak jalan menuju kebahagiaan, dan bukan lagi satu-satunya.

Namun berbeda dengan gerakan yang anti agama, riset ini justru memberikan apresiasi mendalam bagi hadirnya agama, terutama yang ditafsir dengan cara baru, yang sesuai dengan riset psikologi positif dan neuroscience mengenai hidup bahagia dan bermakna.

-000-

Topik ini prinsip ketiga dari tujuh prinsip yang sedang saya susun untuk membangun teori Sosiologi Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence. Prinsip ketiga ini menelusuri korelasi antara agama dan hidup bahagia.

Agama kini tak lagi sendiri mengamati jiwa.
Di laboratorium sunyi, para ilmuwan juga menakar hidup bahagia dan bermakna.

Kini gelombang otak juga membaca luka.
Di era algoritma, kebahagiaan punya bahasa baru.

Tentu hadir kritik yang cukup keras atas peran psikologi positif dan neuroscience. Dua ilmu baru ini semakin mendominasi perumusan formula bahagia di era Artificial Intelligence.

Menurut kritik itu, psikologi positif dan neuroscience hanyalah cermin dari zaman yang tergesa-gesa. Mereka mengurai kebahagiaan menjadi formula ilmiah, mengukur sukacita dengan grafik otak. Seolah manusia hanyalah mesin yang cukup diprogram untuk bahagia.

Menurut kritik itu, kebahagiaan sejati tak lahir dari sekadar latihan mental atau keseimbangan hormon. Ia adalah misteri, sering kali muncul justru dalam derita, kehilangan, dan keterasingan. Itu sesuatu yang tak bisa dihitung dalam eksperimen laboratorium.

Tetapi, apakah kita masih akan menunggu datangnya kebahagiaan sebagai misteri atau takdir yang tak terjangkau? 

Sains sudah membuktikan bahwa kebahagiaan dan hidup bermakna itu bisa diketahui penyebabnya. Karena diketahui penyebabnya, kebahagian bisa dicapai dengan satu formula.

Agama tetap menjadi samudera untuk hidup bahagia dan bermakna. Tapi sejarah sudah membawa kita ke era yang berbeda. Ini era ketika riset ilmu pengetahuan berikhtiar mendalami apa itu makna hidup.

Memang benar, Psikologi positif dan Neuroscience tak menciptakan makna. Dua ilmu itu hanya memberi peta  jalan. Kebahagiaan tetap milik batin, tetapi kini ia bisa dipelajari, dipahami, dan diperjuangkan.

Seperti yang diekspresikan Jalaluddin Rumi:

“Dalam jiwa yang hening, kebahagiaan akan datang. Tetapi kau lah yang mengundangnya. ***

Jakarta, 6 Maret 2025

(1) Daftar 112 negara yang dianalisis secara statistik, dan hasilnya, dilampirkan dalam tulisan ini.

(2) Detil mengenai formula “3P + 2S” soal kebahagiaan hasil riset psikologi positif dan neuroscience lebih detail dieksplor dalam buku saya: Bahagia itu Mudah dan Ilmiah (Inspirasi.co, tahun 2017).

Halaman:

Berita Terkait