DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Test dilakukan kembali dengan menggunakan data terbaru, Happiness Index tahun 2023.

Ketika dua variabel itu dicarikan korelasinya, korelasi Pearson, hasilnya adalah -0,478. Ini artinya, semakin banyak populasi satu negara menganggap agama penting, semakin rendah indeks kebahagiaan di negara itu. 

Angka korelasi Pearson untuk data tahun 2021, juga tak berubah: - 0,478. (1)

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho

Perlu juga dinyatakan bahwa korelasi ini bukanlah hubungan sebab akibat. Besarnya prosentase populasi yang menganggap agama penting bukanlah penyebab, tapi hanya berkorelasi, hadir secara terbalik dengan indeks kebahagiaan.

Semakin penting agama berkorelasi dengan indeks kebahagiaan yang semakin rendah. Mengapa? Sangat mungkin ini karena hadirnya variabel lain, yang disebut cofounding variables.

Misalnya di negara yang mayoritas populasi menganggap agama penting bukan negara yang industri yang kaya raya, dengan pendidikan tinggi, dan program kesejahteraan masyarakat yang penuh.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

Comfounding variable ini ikut menyebabkan tinggi dan rendahnya indeks kebahagiaan.

-000-

Jika di masa lalu agama  satu-satunya cahaya yang menerangi perjalanan hidup manusia, kini ada cahaya lain yang muncul dari temuan sains.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Khotbah Filsafat Hidup Lewat Lagu, Inspirasi Film Bob Dylan A Complete Unknown (2024)

Positive psychology dan neuroscience telah mengungkap kebahagiaan bukan sekadar anugerah dari langit, melainkan hasil dari pola hidup yang bisa dipelajari dan dipraktikkan.

Halaman:

Berita Terkait