Catatan Denny JA: Ternyata Ada Minyak di Tanah Bocah Cilik Sarah

Inspirasi Dari Film Sarah’s Oil (2025)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Sarah Rector, usia sebelas tahun, gadis kulit hitam miskin di awal 1900-an, nyaris tak akan pernah dikenal namanya.

Itu andaikata sebidang tanah pemberian pemerintah kepada keluarganya hanyalah tanah biasa. Tanah itu berbatu, gersang, dan sulit ditanami.

Namun Sarah meyakini hal lain. Sejak awal, ia percaya ada minyak di bawah sana. Bukan lewat peta geologi, bukan lewat hitungan insinyur, melainkan lewat keyakinan sunyi.

Ia merasa, telinganya seperti dibantu Tuhan, mendengar ada sungai minyak mengalir jauh di bawah kakinya.

Dan sejarah pun menjawab keyakinan itu. Minyak menyembur. Royalti mengalir.

Sarah, bocah cilik yang hidup di pinggiran ras dan hukum, menjelma menjadi salah satu jutawan kulit hitam paling awal di Amerika Serikat.

Kekayaan itu tidak datang sebagai hadiah murni. Ia hadir setelah Sarah melewati tipu muslihat, mafia minyak, dan sistem hukum yang sejak awal curiga pada warna kulitnya.

-000-

Sarah’s Oil (2025) adalah film drama biografi Amerika yang disutradarai Cyrus Nowrasteh. Film ini terinspirasi dari buku Searching for Sarah Rector: The Richest Black Girl in America (2014) karya Tonya Bolden.

Film ini dibintangi Naya Desir-Johnson sebagai Sarah, Zachary Levi sebagai Bert Smith, bersama Sonequa Martin-Green dan Garret Dillahunt.

Diproduksi oleh Kingdom Story Company, film ini istimewa karena mengangkat sejarah yang lama terhapus.

Ia memadukan iman, ras, dan ekonomi minyak. Film ini menggali bagaimana sistem industri minyak bekerja, baik lewat tipu muslihat maupun lewat kekerasan terbuka. Juga dunia ala Rockefeller yang bergerak melalui kontrak dan royalti.

-000-

Kisah bermula dari kebijakan allotment tanah dari pemerintah kepada keluarga Freedmen di wilayah Muscogee (Creek).

Secara resmi, kebijakan ini bertujuan memberi hak milik kepada bekas budak. Namun secara diam-diam, ia juga berfungsi meminggirkan kelompok adat dan kulit hitam di Oklahoma.

Tanah terbaik jatuh ke tangan kulit putih. Tanah paling tandus diserahkan kepada mereka yang tak punya daya tawar.

Tonya Bolden dalam bukunya mencatat bahwa tanah Sarah awalnya dianggap “tidak bernilai bahkan untuk disewakan”.

Ironisnya, justru karena dianggap tak berguna itulah tanah itu diberikan kepada seorang anak kulit hitam.

Film dengan cermat mempertahankan ironi sejarah ini. Kebijakan negara tampak netral, tetapi hasilnya sangat rasial.

Sarah menerima 160 acre yang ditertawakan banyak orang. Tanah buangan, berbatu, dan tak bisa ditanam.

Namun ia bersikeras meminta pengeboran. Ketika ditanya apa alasannya, apakah ada riset atau perhitungan, Sarah menjawab sederhana. Telinganya merasa diberi kekuatan oleh Tuhan untuk mendengar sungai minyak jauh di dalam tanahnya.

Akhirnya minyak benar-benar ditemukan. Hidupnya berubah drastis. Dan justru sejak saat itu ancaman bermunculan.

Para spekulan datang membawa janji. Pengacara datang membawa pasal. Mafia minyak datang membawa bahasa bisnis yang terdengar sah.

Negara menambah satu lapis luka. Karena Sarah masih anak-anak dan berkulit hitam, ia diwajibkan memiliki wali kulit putih untuk mengelola kekayaannya.

Di sinilah film menjadi tajam. Wali itu tidak digambarkan sebagai penjahat kartunal. Ia manusia biasa. Lemah. Tergoda.

Hampir saja sang wali menandatangani kontrak yang akan membuat Sarah kehilangan kendali atas tanahnya sendiri.

Namun film memberi ruang bagi pertobatan moral. Sang wali akhirnya memilih berbalik arah, melawan arus keserakahan, dan berdiri di sisi Sarah.

Tokoh Bert Smith, seorang wildcatter berhati nurani, menjadi jembatan antara dunia bocah cilik dan dunia industri minyak yang kejam.

Royalti mengalir dari sistem industri minyak besar yang berada dalam orbit Standard Oil, simbol dunia Rockefeller.

Bukan Rockefeller pribadi yang hadir, melainkan sistemnya. Sistem yang, seperti ditulis Daniel Yergin dalam The Prize, telah mengubah minyak dari cairan gelap menjadi instrumen kekuasaan modern yang menentukan siapa hidup makmur dan siapa sekadar kebagian remah.

Film ditutup dengan ketenangan. Sarah menang, tetapi tidak sepenuhnya. Ia kaya secara nominal, tetapi kendali struktural tetap berada di tangan industri besar.

Sebuah kemenangan yang bermartabat, namun menyisakan pertanyaan.

-000-

Tiga Lesson to Learn

1. Iman bisa membuka pintu, tetapi dunia industri menentukan nasib.

Keyakinan Sarah membawanya pada penemuan minyak. Namun struktur industri menentukan bagaimana kekayaan itu dikelola.

Sejarah berkali-kali memperlihatkan pola yang sama. Orang kecil menemukan sumber daya, sementara sistem besar menemukan cara menguasainya.

Film ini mengajarkan bahwa iman dan keberanian personal memang penting. Namun dalam industri raksasa, mukjizat mudah berhenti pada individu. Keadilan menuntut lebih dari sekadar keajaiban.

2. Hukum bisa tampak netral, tetapi praktiknya sering berpihak.

Dalam teks, hukum menjanjikan perlindungan. Dalam praktik, hukum menuntut warna kulit dan status sosial sebagai prasyarat keadilan.

Sarah dipaksa berada di bawah wali bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena sistem tidak percaya pada bocah kulit hitam.

Film ini mengingatkan bahwa hukum tanpa nurani hanya akan memperpanjang ketimpangan, bahkan ketika ia berbicara atas nama ketertiban.

3. Kepemilikan tanpa kendali adalah kemenangan yang rapuh.

Sarah menerima royalti dan menjadi kaya, tetapi ia tidak menentukan harga, distribusi, atau arah industri.

Seperti ditulis Yergin, industri minyak sejak awal dibangun untuk memisahkan pemilik tanah dari pengendali nilai.

Film ini mengajarkan perbedaan penting antara memiliki dan berdaulat. Banyak bangsa kaya sumber daya berada di posisi Sarah. Kaya di atas kertas, lemah dalam kendali.

-000-

Menonton film ini, saya teringat banyak negeri kaya sumber daya yang saya kunjungi dan tulis. Dari ladang minyak hingga ruang rapat, dari desa sunyi hingga meja kontrak internasional.

Polanya hampir selalu sama. Yang kecil menemukan. Yang besar mengatur. Sarah adalah metafora yang jujur dan menyentuh tentang dunia itu.

Saya juga teringat Indonesia. Negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa, tetapi berkali-kali bertanya pada dirinya sendiri mengapa kemakmuran terasa menjauh.

Film ini membuat saya sadar bahwa pertanyaan kita sering keliru arah. Bukan seberapa besar cadangan kita, melainkan seberapa besar kendali kita.

Film ini meninggalkan gema yang sulit dilupakan. Bumi kadang berbisik kepada mereka yang sabar. Tetapi ketika harta menyembur, dunia akan datang membawa kontrak, meterai, dan bahasa yang rapi.

Ada orang yang menemukan minyak. Ada sistem yang menemukan cara menguasainya.

Dan di antara keduanya, berdirilah seorang anak. Tubuhnya kecil, keyakinannya besar. Ia mengajarkan kita bahwa mukjizat bisa lahir dari tanah yang diremehkan.

Namun keadilan hanya lahir jika keberanian berani menantang sistem.

Pada akhirnya, Sarah’s Oil bukan hanya kisah tentang seorang bocah cilik. Ia adalah cermin. Dan pertanyaan terakhirnya terasa ditujukan kepada kita semua.

Bukan berapa banyak minyak yang kita miliki, melainkan siapa yang benar-benar berdaulat atasnya.*

Jakarta, 13 Desember 2025

Referensi:

1. Tonya Bolden, Searching for Sarah Rector: The Richest Black Girl in America, Abrams Books, 2014.

2. Daniel Yergin, The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power, Free Press, 1991.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/17tt9qeMgT/?mibextid=wwXIfr