Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 06 Maret 2025 11:35 WIB

Paparan ini juga menunjukkan Sains Sebagai Jalan Baru Menuju Makna Hidup. Jika teori klasik hanya membahas fungsi sosial agama, esai ini menunjukkan manusia bisa merancang kebahagiaan dengan metode ilmiah.
Esai ini fondasi bagi sosiologi agama di era digital. Ini gugatan terhadap teori klasik yang tak menjelaskan pergeseran peradaban.
Jika Marx menyebut agama sebagai candu, jika Durkheim menyebutnya sebagai perekat sosial, maka di era AI, agama hanyalah satu dari banyak jalan menuju kebahagiaan, dan bukan lagi satu-satunya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Namun berbeda dengan gerakan yang anti agama, riset ini justru memberikan apresiasi mendalam bagi hadirnya agama, terutama yang ditafsir dengan cara baru, yang sesuai dengan riset psikologi positif dan neuroscience mengenai hidup bahagia dan bermakna.
-000-
Topik ini prinsip ketiga dari tujuh prinsip yang sedang saya susun untuk membangun teori Sosiologi Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence. Prinsip ketiga ini menelusuri korelasi antara agama dan hidup bahagia.
Agama kini tak lagi sendiri mengamati jiwa.
Di laboratorium sunyi, para ilmuwan juga menakar hidup bahagia dan bermakna.
Kini gelombang otak juga membaca luka.
Di era algoritma, kebahagiaan punya bahasa baru.
Tentu hadir kritik yang cukup keras atas peran psikologi positif dan neuroscience. Dua ilmu baru ini semakin mendominasi perumusan formula bahagia di era Artificial Intelligence.
Menurut kritik itu, psikologi positif dan neuroscience hanyalah cermin dari zaman yang tergesa-gesa. Mereka mengurai kebahagiaan menjadi formula ilmiah, mengukur sukacita dengan grafik otak. Seolah manusia hanyalah mesin yang cukup diprogram untuk bahagia.