Catatan Denny JA: Agama yang Berdampingan dengan Positive Psychology dan Neuroscience
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 06 Maret 2025 11:35 WIB

Dulu, seseorang bertanya bagaimana cara menjalani hidup yang bahagia? Jawabannya selalu kembali pada satu hal: agama. Doa, ibadah, dan kepasrahan adalah kunci yang diajarkan turun-temurun.
Tetapi dunia bergerak maju. Psikologi positif, dengan riset-risetnya, telah menemukan pola yang berbeda. Zaman dapat membawa manusia menuju kebahagiaan dengan cara yang lebih dapat diukur.
Manusia bukan lagi sekadar makhluk yang menunggu anugerah dari langit. Mereka adalah arsitek dari kebahagiaan mereka sendiri.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Neurosains membuktikan bahwa rasa syukur, misalnya, bukan hanya konsep spiritual. Ia juga sebuah latihan mental yang dapat mengubah struktur otak, meningkatkan hormon kebahagiaan, dan mengurangi kecemasan.
Hubungan sosial yang sehat bukan hanya anjuran moral, tetapi kebutuhan biologis yang telah terbukti memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup.
Bukti telah banyak berbicara. Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia bukanlah negara yang paling religius.
Denmark, Finlandia, Norwegia menjadi tempat agama tidak lagi mendominasi kehidupan sehari-hari. Di sana justru menjadi rumah bagi masyarakat yang paling puas dengan hidup mereka.
Sementara itu, negara-negara dengan tingkat religiositas yang tinggi sering kali justru bergulat dengan stres, ketimpangan, dan ketidakadilan.
Saya melakukan riset kuantitatif meliputi 112 negara dengan analisis dua variabel. Pertama, variabel seberapa penting agama bagi populasi di negara itu, dari Gallup Poll (2009).
Kedua, variabel World Happiness Index dari PBB, yang tersedia, yang paling dekat dengan tahun 2009 agar berada di waktu yang sama dengan data Gallup Poll di atas. Ditemukanlah data Happiness indeks tahun 2012.