Catatan Denny JA: Mengapa Semakin Penting Agama Bagi Populasi di Suatu Negara, Semakin Tinggi Korupsi di Negara Itu?
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 04 Maret 2025 19:30 WIB

Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence (2)
ORBITINDONESIA.COM - “Mimbar-mimbar di rumah ibadah menggema seribu doa.
Tapi di ruang publik tetap menampung dusta.
Kita menunduk khusyuk memegang kitab suci.
Lalu tegak menindas di luar sajadah.”
Kutipan ini yang teringat ketika saya membaca data dan analisa dari 111 negara di lima benua. Juga ketika saya membaca kisah di bawah ini
Bangaru Laxman, Presiden partai politik BJP saat itu, dikenal sebagai penganut Hindu yang taat. Ia tak pernah melewatkan puja pagi, tangannya selalu terangkat dalam doa kepada para dewa.
Namun, pada tahun 2012, tangan yang sama itu menerima tumpukan uang dalam operasi penyamaran jurnalis. (1)
Suap itu imbalan atas kontrak pertahanan. Ini sebuah ironi bagi pria yang di atas panggung sering menyerukan dharma, kejujuran, dan kebenaran.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Perempuan Menjadi Nahkoda Kapalnya Sendiri, 89 Tahun NH Dini
Kamera merekam semuanya: senyum kecilnya, kepastian di matanya, dan gerakan tangannya menyembunyikan uang kotor itu.
Tak hanya di India yang mayoritasnya Hindu, tapi juga di Brasil yang mayoritasnya Katolik.
Di altar, ia berdoa dengan khusyuk, mengenakan jubah suci, memegang rosario yang melingkari jemarinya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Kata-katanya tentang kasih dan kejujuran menggema di katedral, menyentuh hati jemaat yang percaya. Namun, di balik dinding gereja, uang derma umat mengalir ke rekening pribadi.
Tahun 2018, seorang uskup di Brasil ditahan karena menyelewengkan dana gereja. Dana yang seharusnya untuk kaum miskin digunakan untuk kemewahan pribadinya. (2)
Di Indonesia yang mayoritasnya Muslim tak pula kalah. Di negeri yang setiap napasnya mengandung doa, tempat agama diagungkan di setiap pidato, justru lembaga yang seharusnya menjaga kesucian itu menjadi sarang korupsi.
Pada tahun 2011, KPK mengumumkan bahwa Kementerian Agama adalah kementerian paling korup di Indonesia.
Mereka yang mengutip ayat-ayat suci, yang memimpin doa dalam rapat, yang berbicara tentang kejujuran dari mimbar ke mimbar, ternyata tangan mereka juga yang mencuri.
Dana haji, pengadaan Al-Qur’an, bahkan jabatan di lingkungan Kemenag, semuanya diperjualbelikan. (3)
-000-
Masalahnya ini tidak terjadi kasus per kasus. Saya membuat analisa statistik atas 111 negara di seluruh dunia. Dua set dari dua variabel dicarikan korelasinya.
Pertama, dataset dari Gallup Poll di tahun 2009 mengenai persentase seberapa penting agama bagi populasi di negara itu. Kedua, dataset dari Transparency International untuk tahun yang sama (2009), soal indeks korupsi di negara itu.
Saya gabungkan data itu melalui analisa korelasi Pearson. Detail mengenai ini akan dijelaskan kemudian. Hasilnya: -0,604.
Artinya, semakin penting agama di satu negara, berkorelasi negatif dengan kebersihan pemerintahnya dari kasus korupsi.
Atau dibahasakan lebih sederhana: semakin tinggi persentase penduduk yang menyatakan agama itu penting, semakin korup pemerintahan di negara itu. Mengapa bisa muncul hasil ajaib ini dari riset dari 111 negara?
Ini bukan hubungan sebab akibat, tapi semata korelasi. Semakin penting agama bukan penyebab, tapi semata berkorelasi dengan semakin korup pemerintahan di negara itu.
Di negara Skandinavia—Finlandia, Denmark, Swedia, Norwegia, umumnya kurang dari 25 persen populasinya menganggap agama itu penting. Tapi pemerintahannya berada di Top 10 pemerintahan yang paling bersih.
Sementara di Indonesia (mayoritas Muslim), India (mayoritas Hindu), Brasil (mayoritas Katolik), Thailand (mayoritas Buddha), yang mayoritas populasinya di atas 90 persen menganggap agama penting, korupsi pemerintahan di negara itu justru tinggi.
Bagaimana kita memahami riset ini? Inilah salah satu pertanyaan besar dalam Sosiologi Agama di Era AI yang saya kembangkan.
Budhy Munawar Rachman dan Ahmad Gaus AF menyebutnya sebagai Teori Denny JA Soal Peran Agama dan Spiritualitas di Era AI.
Hubungan agama dan kualitas hidup di ruang publik (korupsi) menjadi prinsip pertama dari tujuh prinsip membangun teori sosiologi yang akan saya susun.
-000-
Sudah terjadi pergeseran besar dalam dunia agama di masyarakat modern. Ini era ketika agama lebih berkembang sebagai identitas kolektif, bukan sebagai etika yang hidup dalam ruang publik.
Di masa lalu, agama pernah menjadi pusat moralitas. Ia adalah hukum sebelum ada konstitusi. Ia adalah pengadilan sebelum ada sistem peradilan. Dalam dunia yang belum memiliki institusi modern, agama berdiri sebagai tiang utama dalam menata masyarakat.
Namun, abad ke-21 menyaksikan transformasi besar. Di banyak negara, agama tidak lagi menjadi kompas moral yang mengikat individu dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, ia menjadi simbol kesetiaan, identitas politik, dan bendera fragmentasi sosial.
Di negara-negara dengan mayoritas religius, kita sering menemukan paradoks: semakin kental ekspresi keagamaan di ruang privat, semakin tidak jujur tata kelola ruang publiknya.
Para pemimpin menyebut nama Tuhan dalam pidato, tetapi sistem mereka penuh dengan gratifikasi dan nepotisme. Masyarakat berbondong-bondong ke tempat ibadah, tetapi membuang moralitas saat berhadapan dengan hukum.
Agama yang dulu berfungsi sebagai penjaga nurani, kini lebih sering menjadi alat polarisasi. Ia lebih sering digunakan untuk membedakan “kami” dan “mereka” ketimbang untuk mempertanyakan apakah kita telah hidup dengan jujur.
-000-
Metodologi: Membaca Dunia Melalui Data
Untuk memahami hubungan antara agama dan kebersihan pemerintahan, kita tidak cukup hanya mengandalkan narasi, intuisi, atau prasangka. Kita perlu data, yang dianalisis dengan alat test yang sahih.
Dua sumber utama data menjadi fondasi dalam penelitian ini. Yang pertama adalah data dari Gallup Poll 2009. Ini lembaga survei global yang sejak 1935 telah menjadi salah satu tolok ukur utama dalam memahami sikap dan keyakinan masyarakat dunia.
Setiap tahun, Gallup melakukan survei di lebih dari 100 negara, mewawancarai ribuan responden dengan metodologi ketat. Lembaga ini memastikan margin of error yang rendah, serta representasi demografi yang seimbang.
Dari survei tahun 2009, data yang digunakan dalam studi ini adalah persentase penduduk di setiap negara yang menjawab “sangat penting, ketika ditanya tentang peran agama dalam kehidupan mereka.
Sumber data kedua adalah Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International 2009. Sejak tahun 1995, CPI menjadi salah satu standar utama dalam mengukur tingkat korupsi di sektor publik.
CPI mengandalkan berbagai sumber, termasuk wawancara dengan pelaku bisnis, analisis pakar, serta survei global mengenai persepsi terhadap transparansi pemerintahan. Semakin tinggi skor CPI, semakin bersih suatu negara dari praktik korupsi.
Dua data ini, satu berbicara tentang iman, satu berbicara tentang integritas pemerintahan. Pertanyaannya: adakah hubungan antara keduanya?
Untuk mengukur hubungan antara religiositas dan tingkat korupsi, digunakan Uji Korelasi Pearson. Ini sebuah metode statistik yang telah menjadi standar dalam analisis hubungan dua variabel sejak diperkenalkan oleh Karl Pearson pada awal abad ke-20.
Korelasi Pearson bekerja dengan mencari pola antara dua set angka: apakah ketika satu variabel naik, variabel lain ikut naik (korelasi positif)? Ataukah ketika satu variabel naik, yang lain justru turun (korelasi negatif)?
Metode ini telah digunakan dalam berbagai riset besar di berbagai bidang, dari psikologi hingga ekonomi, dari analisis perilaku manusia hingga peramalan pasar.
Dalam dunia sosiologi, Korelasi Pearson telah dipakai untuk menguji hubungan antara pendidikan dan tingkat kriminalitas. Atau antara kepercayaan terhadap demokrasi dan stabilitas politik.
Korelasi ini bahkan juga digunakan untuk melihat hubungan antara penggunaan media sosial dan tingkat depresi.
Saya menggunakan sebanyak mungkin negara, dari seluas mungkin wilayah, agar data yang ada menggambarkan keberagaman sosio kultural, ekonomi dan pendidikan masyarakat.
Karena dua variabel itu diukur dalam unit analisis negara, maka jumlah dan nama negara yang sama harus ada di kedua variabel itu. Terpilihlah 111 negara di tahun 2009, yang bisa dianalisis. Nama negara dan hasil analisisnya disertakan dalam lampiran.
Dalam studi ini, Uji Korelasi Pearson menemukan angka -0.604. Ini menunjukkan hubungan negatif yang cukup kuat antara tingkat religiositas dan kebersihan pemerintahan.
Semakin tinggi persentase populasi yang menganggap agama penting, semakin rendah kebersihan pemerintahah di negara itu. Atau, semakin tinggi prosentase penduduk di satu negara menganggap agama penting, semakin pemerintah negara itu korup!
Ini sungguh kesimpulan yang seolah aneh tapi nyata. Tapi data yang bicara.
Namun, apakah korelasi ini berlaku merata di semua kelompok negara? Untuk itu, kita membutuhkan analisis yang lebih dalam.
Jika Korelasi Pearson membantu melihat hubungan dua variabel secara umum, One-Way ANOVA (Analysis of Variance) melihat data lebih detil lagi.
ANOVA memungkinkan kita untuk melihat apakah perbedaan antara kelompok-kelompok tertentu itu signifikan secara statistik.
ANOVA diperkenalkan oleh Ronald Fisher pada tahun 1920-an. Sejak saat itu, ia menjadi metode utama dalam berbagai eksperimen sosial dan ilmiah.
Prinsipnya sederhana: membandingkan rata-rata beberapa kelompok untuk melihat apakah perbedaan di antara mereka cukup besar untuk dianggap lebih dari sekadar kebetulan.
Dalam studi ini, negara-negara dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkat religiositasnya: rendah, sedang, dan tinggi.
Hasil One-Way ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan di antara ketiga kelompok ini sangat signifikan secara statistik (p-value = 0.000).
Namun, studi ini tidak berhenti di situ. Untuk memastikan bahwa perbedaan ini bukan hanya terjadi secara umum tetapi memiliki pola yang lebih spesifik, dilakukan Uji Games-Howell sebagai analisis lanjutan.
Hasilnya mengungkapkan sesuatu yang menarik: perbedaan signifikan hanya terjadi antara negara dengan religiositas tinggi dibandingkan dengan dua kelompok lainnya.
Artinya, negara dengan religiositas rendah dan sedang tidak memiliki perbedaan yang berarti dalam hal kebersihan pemerintahan. Tetapi begitu religiositas mencapai level yang sangat tinggi, pola yang muncul adalah pemerintahan yang lebih korup.
Saya juga menggunakan data set kedua. Jika yang pertama adalah indeks CPI tahun 2009, yang kedua indeks CPI tahun 2023, data terbaru yang bisa diakses ketika riset ini dibuat.
Apa hasilnya? Tak banyak beda. Jika dengan data CPI tahun 2009, nilai korelasi Pearsonnya 0,604, dengan data CPI tahun 2023, nilai korelasinya 0,646. Bahkan di tahun 2023, korelasinya menguat secara negatif.
Sementara analisa Anova One way nya di tahun 2023 sama dengan set data di tahun 2009.
Di atas kertas, angka-angka ini hanyalah hasil statistik. Namun di baliknya, ada pertanyaan yang lebih besar, yang menyentuh inti dari peradaban modern: mengapa korelasi ini muncul? (4)
Mengapa negara-negara yang secara agama mengagungkan nilai kejujuran justru lebih sering tersandung korupsi?
Mengapa agama, yang seharusnya menjadi benteng moral, justru sering kali hadir di negara-negara dengan indeks transparansi yang buruk?
-000-
Jawaban dari pertanyaan ini bukan sekadar soal data. Ia menyentuh bagaimana agama telah berevolusi dalam masyarakat modern.
Bagaimana kekuasaan merangkul simbol-simbol suci, dan bagaimana etika di ruang publik tidak selalu berjalan seiring dengan ritual di ruang privat.
Agama, dalam idealismenya, adalah kompas moral. Ia mengajarkan kejujuran, keadilan, dan kesetiaan pada nilai-nilai luhur.
Namun, ketika agama bergerak dalam lanskap politik dan sistem sosial yang kompleks, ia tidak selalu berfungsi sebagai benteng moralitas.
Justru sebaliknya, dalam banyak kasus, semakin tinggi tingkat religiositas suatu negara, semakin besar peluang korupsinya.
1. Agama Sebagai Identitas, Bukan Etika
Di banyak negara dengan tingkat religiositas tinggi, agama lebih sering menjadi identitas kolektif ketimbang pedoman moral yang benar-benar dijalankan.
Kesalehan bukan lagi tentang bagaimana seseorang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih pada bagaimana ia menampilkan diri dalam ruang sosial.
Pemimpin politik menyebut nama Tuhan dalam setiap pidatonya, tetapi diam-diam menumpuk kekayaan dari dana publik.
Institusi yang berlabel agama menjadi sarang transaksi kekuasaan. Dalam masyarakat seperti ini, kesalehan simbolik lebih penting daripada integritas nyata.
Korupsi berkembang dalam atmosfer ketika kepatuhan terhadap dogma lebih dihargai daripada kepatuhan terhadap hukum.
Ketika agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan, kritik terhadap pejabat yang korup dapat dianggap sebagai serangan terhadap keyakinan itu sendiri.
2. Compounding Variables: Level GDP dan Kelembagaan yang Rapuh
Korelasi antara religiositas dan korupsi tidak berdiri sendiri. Ada variabel pengganggu (compounding variables) yang memperkuat hubungan ini. Salah satunya adalah tingkat pendapatan per kapita (GDP per capita).
Negara-negara dengan religiositas tinggi cenderung memiliki GDP per kapita yang lebih rendah. Ketika ekonomi lemah, peluang kerja sedikit, dan kesejahteraan tidak merata, korupsi menjadi mekanisme bertahan hidup. Jaringan patronase dan hubungan sosial menjadi lebih penting daripada meritokrasi.
Sebaliknya, negara dengan GDP tinggi memiliki sistem hukum yang lebih independen, mekanisme check and balances yang kuat, serta birokrasi yang lebih rasional. Mereka tidak bergantung pada kesalehan individu untuk memastikan integritas publik. Mereka membangun sistem yang membuat kejahatan tidak bisa bersembunyi.
Selain GDP, kelembagaan yang rapuh juga berperan. Di banyak negara dengan religiositas tinggi, institusi hukum sering kali lemah dan dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau kelompok agama dominan. Akibatnya, korupsi tidak hanya tumbuh, tetapi dilindungi oleh sistem yang seharusnya mencegahnya.
3. Keimanan Pribadi vs. Sistem yang Transparan
Di negara-negara Nordik, yang tingkat religiositasnya rendah tetapi pemerintahan mereka bersih, moralitas publik tidak bergantung pada keyakinan pribadi, tetapi ditegakkan oleh sistem yang tidak dapat dinegosiasikan.
Seorang pejabat publik di Swedia tidak perlu takut pada hukuman Tuhan untuk tidak mencuri. Ia tahu bahwa sistem akan mendeteksi, media akan mengungkap, dan pengadilan akan menghukum tanpa kompromi.
Sebaliknya, di negara-negara dengan religiositas tinggi, pejabat dapat mengandalkan loyalitas sektarian atau jubah kesalehan untuk berlindung dari keadilan.
Korelasi antara religiositas dan korupsi bukanlah indikasi bahwa agama itu sendiri menyebabkan korupsi. Namun, ketika agama menjadi instrumen kekuasaan tanpa sistem hukum yang kuat, ia kehilangan perannya sebagai benteng moralitas.
Di dunia modern, iman saja tidak cukup untuk memastikan pemerintahan yang bersih. Yang lebih menentukan bukan seberapa sering pemimpin berdoa, tetapi seberapa ketat sistem yang mencegah mereka menyalahgunakan wewenang.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah masyarakat harus lebih religius atau tidak. Tetapi, apakah mereka memiliki institusi yang cukup kuat untuk memastikan bahwa moralitas tidak bergantung pada niat baik individu. Moralitas harus dikawal oleh aturan yang tak bisa ditawar.
Apakah era AI dapat mengubah kecenderungan itu, korelasi antara penting dan tidaknya agama dengan tingkat korupsi?
Di era digital, AI menjadi mata yang tak terpejam dan akal yang tak bisa disuap.
Jika korupsi bersembunyi di balik doa dan simbol, AI membongkar kemunafikan dengan data dan algoritma.
Di negara dengan religiositas tinggi tetapi korupsi merajalela, AI dapat mengungkap pola aliran dana yang mencurigakan, membandingkan retorika moral dengan transaksi nyata.
Ia menganalisis jutaan dokumen dalam hitungan detik, menelusuri jejak digital yang tak bisa dihapus dengan sumpah atau fatwa.
Namun, sebagaimana agama bisa digunakan untuk menutupi korupsi, AI juga bisa diperalat untuk melindungi kepentingan tertentu. Tanpa kebijakan yang berpihak pada transparansi, AI bisa menjadi alat penjaga oligarki, bukan penegak keadilan.
Maka, AI bukan sekadar teknologi. Ia adalah cermin bagi nurani kita. Apakah kita siap menggunakan kecerdasan buatan untuk membersihkan dunia nyata, atau hanya untuk mempercantik kebohongan dengan data?
-000-
Jika agama tak lagi menjadi pilar utama etika publik, lalu siapa yang mengisinya? Jawabannya sederhana: institusi hukum dan mekanisme check and balances.
Negara-negara dengan tingkat korupsi rendah bukanlah negara yang paling rajin berdoa, tetapi negara yang paling keras dalam penegakan hukum.
Skandinavia, dengan tingkat religiositas yang rendah, memiliki pemerintahan yang paling bersih di dunia. Tak meyakini agama bukan berarti mereka tak memiliki moralitas.
Justru mereka mengembangkan moralitas sekuler yang dilembagakan ke dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum mereka memastikan tidak ada ruang bagi moralitas individu untuk dinegosiasikan.
Hukum yang kuat tidak bertanya apakah seseorang religius atau tidak. Ia hanya bertanya: apakah seseorang melanggar aturan? Ia tidak terpengaruh oleh retorika kesalehan, tetapi bekerja dalam prinsip sebab-akibat.
Di dunia yang semakin kompleks, keyakinan pribadi tidak cukup untuk menahan godaan korupsi. Dibutuhkan sistem yang tidak mempercayai manusia begitu saja. Sistem perlu dibangun mengawasi dan menghukum tanpa ampun saat mereka melanggar.
-000-
Apa yang baru dengan proposisi atau teori yang saya kemukakan di atas? Saya ikut membawa sosiologi agama ke ranah yang lebih tajam: kuantitatif, statistik, dan terukur.
Jika sosiolog klasik seperti Weber, Durkheim, dan Marx menafsirkan agama melalui filsafat dan sejarah, kini angka-angka berbicara lebih lantang.
Tentu saya tidak memulai dari nol. Saya melanjutkan jejak Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2004), yang membuktikan bahwa semakin tidak aman sebuah negara, semakin tinggi tingkat religiositasnya.
Tapi saya melangkah lebih jauh mencari tahu bagaimana religiositas kolektif berkorelasi dengan tingkat korupsi negara.
Keuntungan besar zaman ini adalah hadirnya ekosistem data global. Jika dulu Weber hanya bisa meneliti Protestanisme di Eropa, kini tersedia dataset luas dari Gallup Poll dan CPI Transparency International.
Saya hanya mengolahnya dengan uji statistik: Korelasi Pearson, One-Way ANOVA, hingga Games-Howell, setelah merumuskan dulu perspektifnya.
Dan hasilnya mencengangkan. Angka -0,604 menunjukkan korelasi negatif yang kuat: semakin penting agama dalam suatu masyarakat, semakin buruk integritas pemerintahannya.
Paradoks ini bukan sekadar kritik terhadap agama. Ia adalah peringatan bahwa agama yang dilembagakan tanpa sistem hukum yang kuat bisa menjadi alat legitimasi bagi korupsi.
Di era AI, bukan lagi jumlah doa yang menentukan bersihnya negeri, tetapi sistem yang membuat kejahatan tak punya tempat untuk bersembunyi.
Hasil riset ini menjadi prinsip pertama dari teori yang terdiri dari tujuh prinsip turunannya.
Bunyinya: Penting atau tidaknya agama bagi masyarakatnya tidak otomatis membuat pemerintahan negara itu bersih.
Di era modern, yang lebih menentukan adalah check and balances, saling mengontrol kelembagaan modern, dan penegakan hukumnya, bukan penting atau tidaknya agama bagi masyarakatnya.
Kita memasuki zaman ketika bukan hanya kesalehan yang menjaga negeri dari kehancuran. Tetapi yang lebih menentukan adalah sistem yang membuat kejahatan tak mungkin bersembunyi.
Bukan hanya berapa banyak orang beribadah yang menentukan keadilan. Tetapi yang lebih berpengaruh adalah seberapa besar peluang bagi tangan-tangan tak terlihat untuk merampas yang bukan haknya.***
Jakarta, 4 Maret 2025
CATATAN
(1) Korupsi pejabat di India
(2) Korupsi di Brazil
https://cruxnow.com/global-church/2018/03/brazilian-bishop-arrested-accused-of-stealing-600000
(3) Korupsi di Indonesia
https://nasional.kompas.com/read/2011/11/29/02410859/Kementerian.Agama.Terkorup?page=all
(4) Tabel 111 negara variabel satu dan dua, dan analisa korelasi Pearson dan ANOVA, dilampirkan dalam esai ini.