Cerpen Rusmin Sopian: Perempuan Kiriman Tuhan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 05 Januari 2025 09:02 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Lelaki muda itu terus melangkah dalam cahaya malam yang mulai menyusut. Sementara di langit awan tampak menghitam .
Sebuah pertanda akan hujan. Bintang gemintang pun enggan hadir menghiasi malam. Entah kemana mereka malam ini.
Langkah lelaki itu makin kencang. Dan tiba-tiba byurr. Hujan datang dengan sangat derasnya. Suara gemerciknya warnai tanah. Jalanan tampak basah kuyup.
Baca Juga: CERPEN Syaefudin Simon: Tuhan yang Telanjang
Tak terkecuali lelaki muda itu. Seluruh badannya dibasahi air hujan. Tapi dia terus melangkah dan melangkah susuri jalanan.
Lelaki muda itu membuka mata saat mentari sedang bersinar dengan garangnya. Sinarnya amat panas. Menghajar tubuhnya. Menghangatkan badannya. Lelaki itu memandang ke semua sisi. Sejuta pertanyaan muncrat dari hatinya. Di manakah aku sekarang berada? Gumamnya .
Seingatnya semalam dia masih gagah berjalan melawan hujan yang turun dengan sangat deras menghujam bumi. Tapi?
Baca Juga: CERPEN: Wanita yang Berjuang Demi Pacarnya yang Dipecat
Ketukan pintu menyadarkannya. Sesosok wajah perempuan berparas cantik muncul dari balik pintu. Senyumnya amat menawan.
"Sudah bangun rupanya. Saya buatkan kopi, ya?" sapa seorang perempuan dengan nada bertanya.
"Maaf. Mbak siapa? Aku ada di mana?" tanya lelaki itu.
"Oh, ya. Semalam Mas terkapar di jalanan. Bersama beberapa warga saya angkat Mas ke rumah. Daripada Mas tidur di jalanan," jawab perempuan itu.
Baca Juga: Novel Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang yang Filosofis
Lelaki muda itu cuma terdiam. Tak menjawab.Hanya membisu. Bibirnya terkunci rapat. Suaranya tersekat di tenggorokannya yang masih terasa sakit.
Sudah tiga malam lelaki muda yang bernama Markudut tinggal di rumah perempuan itu. Dan sudah tiga malam pula dirinya menjadi tanggungan perempuan itu. Mulai dari makan, minum dan rokoknya menjadi tanggungan perempuan itu.
Lelaki muda itu tampaknya malu. Sebagai lelaki dia malu harus hidup dari seorang perempuan yang tak dikenalnya. Sosok yang sangat asing baginya. Apalagi dia teringat dengan nasehat ibunya sewaktu dirinya masih kecil.
" Lelaki itu harus jantan. Jangan hidup di ketiak istri. Lihat ayahmu. Pekerja keras," nasihat Ibunya.
Baca Juga: Aplikasi Penyedia Novel Bacaan dan Cerpen, MaxNovel Berkomitmen Berdayakan Para Penulis Indonesia
Dan sudah tiga malam pula selama tinggal di rumah perempuan itu, dirinya selalu melihat perempuan itu pergi saat malam mulai merenta.
Dan pulangnya pun saat matahari mulai menaiki langit. Dandanannya pun amat seronok. Seperti perempuan malam yang sering ditemuinya dulu ketika dirinya terseret arus deras kehidupan malam yang membuatnya menjadi kaum fakir.
Dan selama tiga malam pula dirinya hanya bertemu perempuan itu saat senja mulai menyapa penghuni bumi. Mereka berdua pun tak pernah bertegur sapa. Hanya saling tersenyum sebagai tanda basa-basi.
Baca Juga: Hendrajit: Membaca Benang Merah Dalam Buku Novel Steve Berry dan Dan Brown
Sementara saat perempuan itu akan meninggalkan rumahnya, dimeja makan sudah tersaji makanan.
Sebagai lelaki dia sangat malu. Martabat dirinya sebagai lelaki amat rendah. Tapi apa boleh buat. Dirinya tak mampu berbuat apa-apa kecuali menikmati apa yang tersaji dalam lintasan hidup.
Melawan? Percuma. Dirinya tak memiliki apapun. Harta satu-satunya adalah baju yang kini melekat di badannya saja.
Sudah bagus perempuan itu mau menampungnya. Kalau tidak bisa-bisa dia menjadi penghuni kolong jembatan. Bahkan menjadi incaran para Satpol PP untuk diuber bak binatang di rimba yang ganas.
Malam itu rembulan bersinar dengan terang benderang. Cahaya indahnya menerangi bumi.
Markudut pun mengikuti jejak langkah perempuan itu. Rasa penasaran yang ada dalam otak kanannya membuat dia mengikuti langkah perempuan itu. Setidaknya dia ingin menjawab rasa penasarannya.
Baca Juga: Penulis A.S. Laksana: Tiga Hal Penting dalam Penulisan Cerpen
Markudut amat kaget. Jantungnya hampir copot. Perempuan itu masuk dalam sebuah diskotik. Sebuah tempat yang dulu sering dikunjunginya saat kantongnya masih tebal.
Senja itu menjelang magrib, saat segerombolan camar sedang menari-nari di langit yang biru, Markudut melihat perempuan itu menatap senja dari balik jendela rumahnya.
Tampaknya perempuan itu asyik menikmati senja yang sedang bercengkrama dengan warna-warni pelangi di ujung langit. Sebuah karya yang maha agung dari Sang Pencipta.
Baca Juga: Ratih Kumala, Kreator Novel Gadis Kretek Bakal Hadirkan Film Baru: Satu Imam Dua Makmum
"Sepertinya senja memiliki arti khusus bagi Mbak," sapa Markudut membuka pembicaraan.
Perempuan itu kaget dengan sapaan Markudut. Namun seraut senyuman ditebarkannya dari wajah cantiknya. Seolah-olah ingin menutupi keresahan hatinya.
"Eh, Mas. Sudah baikan badannya, Mas," ujar perempuan itu.
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Matkuteng, Penjagal dari Kampung Selatan
"Alhamdulillah. Terima kasih atas bantuan mu Mbak. Kalau nggak ada pertolongan Mbak, mungkin saya sudah berhadapan dengan ulat-ulat tanah dan menjadi mayat tanpa identitas yang bisa dijadikan kelinci percobaan para ahli," sahut Markudut.
"Sebagai manusia kita harus saling mengasihi dan tolong menolong. Saya buatkan kopi, ya," ujar perempuan itu.
Tekad Markudut untuk menyunting perempuan itu tampaknya sudah bulat. Perempuan itu adalah perempuan yang didambakannya. Bagaimana tidak, ditengah keresahan jiwanya, dia mampu menjadi pahlawan bagi orang lain meskipun sejuta derita tertanam dalam hidupnya.
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Ada Cerita Palsu dari Mulut Palsu Penutur Palsu
Padahal Markudut tahu bagaimana penderitaan jiwa perempuan itu soal bayaran SPP anaknya di Desa yang sudah tiga bulan belum dilunasi.
Markudut sangat tahu pula, bagaimana ibu perempuan itu sedang tergolek sakit di rumah. Sementara biaya berobat belum mampu dia kirimkan.
Setidaknya membaca surat-surat yang dikirimkan keluarga perempuan itu, membuat Markudut yakin dia adalah perempuan yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Baca Juga: Jonminofri Nazir: Panji Pratama, Guru, Dosen, dan Telah Menulis 7 Novel
Setidaknya apa yang dilakukan perempuan itu untuk dirinya selama di rumah ini membuat dirinya sangat yakin tentang perempuan itu yang dikirim Allah SWT untuknya.
Usai salat subuh Markudut tak memejamkan matanya lagi. Dia ingin menunggu perempuan itu pulang. Ada sesuatu yang hendaknya dikatakannya. Dirinya ingin melamar perempuan itu sebagai istrinya.
Soal status perempuan itu sebagai perempuan malam, bukan halangan bagi dirinya untuk tidak menyuntingnya. Bagi Markudut perempuan itu sungguh istimewa dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain di luar sana yang dikenalnya selama ini yang selalu menjadikan kantongnya sebagai transaksi.
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Kisah dari Koran Bekas
Derit pintu depan terbuka. Seraut wajah letih menyeruak dari balik pintu. Melihat Markudut, perempuan itu menebar senyum.
Sebuah senyuman yang amat menawan dan menggetarkan hati Markudut. Senyuman yang sudah lama didambakannya sebagai lelaki dewasa.
"Pagi amat bangunnya, Mas," sapa perempuan itu. "Saya buatkan kopi, ya," sambungnya sembari menuju dapur.
"Tak usah Mbak. Aku sudah ngopi. Nih gelasnya. malah masih ada sisa kopinya," jawab Markudut.
Perempuan itu kaget setengah mati saat mendengar Markudut ingin meminangnya. Jantungnya hampir lepas.
"Saya ini perempuan malam, Mas. Tak pantas bersanding dengan Mas," jawab perempuan itu menjawab keinginan Markudut.
Baca Juga: SATUPENA Akan Terbitkan Buku Kumpulan Esai, Puisi, Puisi Esai, dan Cerpen Tentang Pilkada 2024
"Manusia itu bukan dilihat secara kasat mata dari profesinya. Bukan sama sekali. Tapi hatinya," ucap Markudut sambil menunjuk arah hatinya. Perempuan itu terdiam.
"Kalau Mbak bersedia menerima lamaran saya, pagi ini kita berangkat ke desa, Mbak. Mohon izin dengan keluarga dan anak Mbak," lanjut Markudut.
"Insya Allah, saya akan menyayangi Mbak dan anak Mbak sebagaimana saya mencintai diri saya sendiri. Saya kan berusaha menjadi lelaki sejati untuk Mbak," janji Markudut.
Baca Juga: Balai Bahasa Indonesia Gelar Bedah Novel Ashadi Siregar pada Malam Sastra di Canberra, Australia
Sinar mentari pagi yang cerah menghantarkan dua sejoli ini menuju sebuah tempat baru bagi keduanya. Rengkuhan tangan kekar Markudut dipundak perempuan itu tampak sangat erat.
Sebagai bukti bahwa dirinya akan menjaga perempuan itu untuk masa depannya. Masa depan anak-anaknya. Dan tentunya masa depan mereka sebagai manusia baru di tempat baru.
Toboali, Awal Januari 2025
Baca Juga: Cerpen Rusmin Sopian: Robohnya Rumah Pejuang
*Penulis adalah Ketua GPMB Bangka Selatan. Cerpennya tersebar di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung. Saat ini, penulis tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik.***