DECEMBER 9, 2022
Kolom

In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial

image
Ignas Kleden dalam kenangan. (OrbitIndonesia/kiriman)

Di wajahnya yang tegap (9)

Dilihat dari tradisi puisi Indonesia dan puisi dunia, kelima sajak panjang Denny JA dapatlah dimasukkan ke dalam kelompok balada, khususnya balada literer sebagaimana diperkenalkan oleh Franscois Villon di Prancis abad 14-15, yang berbeda dari balada rakyat yaitu jenis balada yang mengisahkan kembali folklor dalam bentuk puisi.

Patut dikemukakan bahwa sekalipun mengambil bentuk balada, kelima sajak panjang ini memusatkan perhatian bukan pada riwayat dan perjalanan hidup para aktor liris, melainkan mengambil sebagai pokok konflik batin yang diderita para aktor liris dalam menghadapi diskriminasi yang menimpa mereka dan harus mereka hadapi.

Dengan lain perkataan, penyair pun kadangkala tak dapat menghindar dari persoalan sosial yang menimpa masyarakatnya, dan akhirnya tak bisa lagi mengisolasi puisi dari keterlibatan yang langsung dalam tanggung jawab sosial.

Dalam kelima sajaknya, Denny JA dengan tegas memilih untuk berpihak pada para korban diskriminasi, dan seakan menitipkan protes, simpati, dan tekadnya melawan arus ketidakadilan melalui suara para aktor liris, dan merasa memikul tanggung jawab untuk melakukan advokasi terhadap mereka yang tidak diperlakukan sama dan setara di depan hukum.

Para aktor liris ini seakan ditakdirkan untuk berhadapan dengan hambatan yang tak dapat disingkirkan dalam mencapai niatnya, sambil menderita hukuman sosial hanya lantaran keyakinan yang dianutnya, dan mengalami persekusi oleh pihak yang memperlakukan mereka sebagai anggota out-group, yang dalam praktik tak banyak bedanya dengan nasib para outcast, yang tak diakui keanggotaannya dalam masyarakat dan menjadi paria secara sosial.

Untuk yang melakukan diskriminasi, sikap diskriminatif itu muncul dari prasangka perbedaan agama (dalam sajak “Bunga Kering Perpisahan”), prasangka perbedaan paham tentang agama (dalam sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”), prasangka perbedaan etnis (dalam sajak “Sapu Tangan Fang Yin”), prasangka tentang perbedaan orientasi seksual (dalam sajak “Cinta Terlarang Batman dan Robin”), dan prasangka perbedaan kelas sosial (dalam sajak “Minah Tetap Dipancung”).

Indonesia bukanlah suatu negeri dengan masyarakat yang bebas prasangka, sesuatu yang juga bukan khas negeri ini. Dengan mudah bisa ditunjuk berbagai prasangka yang menghantui hubungan sosial di negeri-negeri lain, termasuk negeri-negeri yang menyebut dirinya beradab dan maju.

Selain lima jenis prasangka yang dilukiskan dalam sajak-sajak Denny JA, masih bisa disebutkan berbagai prasangka lain yang tak kurang menimbulkan kesulitan seperti prasangka antar budaya, prasangka yang muncul dari perbedaan keyakinan politik, prasangka ilmu pengetahuan, dan prasangka antar-generasi dan antargender.

Namun demikian kuatnya lima prasangka yang dilukiskan Denny JA, terutama disebabkan karena prasangka tersebut telah membawa korban di antara orang-orang yang belum tentu bersalah.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Berita Terkait