DECEMBER 9, 2022
Kolom

In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial

image
Ignas Kleden dalam kenangan. (OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - “Kamu penulis dan pemikir yang beruntung. Suka atau tidak, sudah terbentuk komunitas tingkat nasional, bahkan ASEAN, di seputar kreasimu, ikhtiarmu dalam sastra. Tak banyak yang memperoleh keberuntungan itu.”

Sekitar tiga tahun lalu, kalimat di atas diucapkan oleh Ignes Kleden dalam percakapan di handphone.

Waktu itu, ia membaca komunitas puisi esai ASEAN menyelenggarakan Festival Puisi Esai di Sabah, atas biaya kerajaan di Malaysia itu sendiri.

Percakapan ini yang saya ingat, ketika mendengar Ignes Kleden meninggal, hari ini, 22 Januari 2024.

Hari ini, di sela sela padatnya isu Pilpres, saya katakan kepada tim, mohon saya jangan diganggu sekitar dua jam. Saya harus menulis sesuatu untuk pemikir dan penulis besar ini. Setidaknya ini rasa terima kasih saya padanya.

Tak banyak yang tahu. Di masa awal proses kreatif saya soal puisi esai, ketika pertama kali saya ingin berikhtiar membuat sejenis puisi yang keluar dari “pakem,” keluar dari konvensi, yang “out of the box,” saya banyak berdiskusi dengan Ignes Kleden.

Waktu itu, tahun 2012, dua belas tahun lalu, Ignes memberi semangat.

Ujarnya, genre baru dalam puisi itu adalah tawaran paradigma. Ia akan hidup atau mati bukan karena sah atau tidaknya genre baru itu. Tapi apakah genre baru itu melahirkan komunitas yang menghidup-hidupkannya.

Karena itulah, ketika Ignes Kleden mendengar terbentuknya komunitas puisi esai Indonesia, bahkan di tingkat ASEAN, ia menyatakan: “Den, gagasanmu kini sudah menemukan kakinya. Selamat.”

Mengenang kepergian Ignes Kleden, saya turunkan kembali tulisan Ignes Kleden tentang puisi esai saya, yang ia tulis di tahun 2012.

Tulisan Ignes ini menjadi epilog dalam buku puisi esai yang pertama: Atas Nama Cinta (2012)

I

Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi

-Review Puisi Esai Denny JA

Ignas Kleden, Kritikus Budaya

Licentia poetica dan ambivalensi puisi rupanya bisa menjadi fasilitas yang memungkinkan puisi dimasuki oleh berbagai pihak dengan membawa keperluannya masing-masing.

Tidak semua penulis sajak akan mempersembahkan hidupnya untuk kesenian seperti yang dilakukan oleh Chairil Anwar.

Tidak setiap peminat puisi akan mengutak-atik kata-kata untuk coba memastikan bahwa kehidupan nyata lebih tidak logis dan lebih tidak masuk akal dari syarat menulis puisi, seperti yang dialami oleh Sapardi Djoko Damono (1).

Rendra meneliti “metode”nya dari waktu ke waktu dalam mendamaikan amanat batin dan cetusan pikirannya dengan sarana ekspresi yang dapat menyampaikan pesan itu atas cara yang semakin membuat senyawa isi dan bentuk sebuah sajak (2).

Sutardji Calzoum Bachri bersajak untuk membuktikan bahwa kata mempunyai kehidupan semantis yang lebih liar dan lebih kaya dari konsep-konsep yang dibakukan para penyusun kamus (3).

Joko Pinorbo, penyair celana dan sarung bersajak tentang hal yang sangat seharihari yang apabila dipersonifikasikan akan memperlihatkan dimensi kehidupan yang sering tenggelam dalam banalitas, tetapi bisa diajak bicara dalam dialog yang memikat dan penuh inspirasi.

Di tahun enam puluhan, menulis sajak untuk mengabadikan momentum perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya tentang emosi dan determinasi para mahasiswa dalam menggerakkan suatu perubahan politik yang besar dan bersejarah:

Sebuah jaket berlumur darah/ Kami semua telah menatapmu/ Telah berbagi duka yang agung/ dalam kepedihan bertahun-tahun/ Sebuah sungai membatasi kita/ di bawah terik matahari Jakarta/ antara kebebasan dan penindasan/ berlapis senjata dan sangkur baja

(sajak Taufiq Ismail “Sebuah Jaket Berlumur Darah”) (4).

Sekarang ini pada tahun 2012, seorang peminat puisi, Denny JA, menulis lima sajak panjang dan memaklumkannya sebagai sebuah percobaan untuk memberi bentuk kepada suatu varian lain dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan suasana batin tokoh liris dengan kondisi sosial sebagai konteks yang melahirkan suasana itu.

Apakah percobaan ini membawa suatu pembaruan dalam puisi Indonesia, masih patut dilihat lebih lanjut dalam perjalanan waktu.

Namun demikian, penulisnya secara sadar telah memilih suatu bidang tematik yang menjadi garapannya, yaitu diskriminasi dengan semua prasangka yang telah melahirkannya serta menelan para korban dengan penderitaan jasmani dan konflik batin, yang mungkin hingga saat ini belum cukup diketahui.

Ada biaya manusia dan biaya sosial yang mungkin belum pernah cukup dihitung berapa besarnya.

Persoalan sosial bukanlah gejala baru dalam puisi Indonesia.

Semenjak LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), emosi pribadi telah disingkirkan dari puisi, dan yang harus ditampilkan adalah masalah sosial dan khususnya tema politik tentang perjuangan rakyat yang harus dimenangkan.

Dalam retrospeksi, dapat dikatakan sekarang bahwa apa yang diabaikan dalam sajak-sajak penyair LEKRA adalah hilangnya dimensi personal, yang pada hemat saya menjadi unsur konstitutif sebuah sajak yang berhasil.

Perbedaan sajak-sajak penyair LEKRA dan sajak-sajak Rendra tentang timpangnya pembangunan dan ketidakadilan sosial ialah bahwa pada Rendra (dengan berbagai tingkat keberhasilan yang bisa dicapai) masalah-masalah sosial diusahakan untuk diinternalisasikan sejauh mungkin sebagai masalah pribadinya, dan diungkapkan kembali sebagai keprihatinan dan keresahan atau amarah pribadi.

Tampaknya, ini syarat minimal untuk setiap sajak sosial, karena puisi tidak ditakdirkan menjadi reproduksi dari situasi sosial, tetapi sebagai respons personal kepada berbagai masalah sosial yang dihadapi.

Tanpa dimensi personal ini sebuah sajak dengan mudah sekali tergelincir menjadi pamflet perjuangan atau orasi sosial politik.

Tentang orang-orang miskin yang tersingkir dalam perjuangan hidup di kota besar Rendra menulis dengan penuh simpati:

Orang-orang

miskin di jalanan,/

yang tinggal di dalam selokan,/

yang kalah dalam pergulatan,/

yang diledek oleh impian,/

janganlah mereka ditinggalkan (sajak “Orang-Orang Miskin”) (5)

Atau, seorang penyair muda dari desa Jatiwangi yang mencoba mendapat tempat di Jakarta

pada tahun 1955, menulis, dengan perasaan yang bercampur baur:

Kucinta kau kalau dini hari/

Redam batuk memecah sunyi/

Dan nyanyian tukang becak/

mengadukan nasib pada langit/

Dan bintang yang tak mau ngerti.

(Sajak Ajib Rosidi “Kepada Jakarta”) (6)

Apa yang mengharukan di sini bukan saja dan bukan terutama keadaan sosial dan masalahnya, tetapi sikap pribadi dan sentuhan personal penyair pada masalah dan kondisi sosial tempat dia terlibat.

II

Penyair, dan mungkin tiap seniman kreatif, bekerja dengan mengandalkan spontanitas dan intensitas. Ada gagasan atau perasaan yang timbul, tetapi perasaan atau ide itu disambut oleh suatu intensitas tinggi, yang memberi bentuk pada sesuatu yang tadinya masih lentur dan sambur-limbur dalam angan.

Tak terbayangkan seorang penyair menyusun desain untuk sajak yang hendak ditulisnya.

Sajak, pada umumnya, adalah perjumpaan suasana-dalam dan suasana-luar yang menjelma menjadi momentum penciptaan.

Tentu saja sebuah sajak dapat diperbaiki berulang kali oleh penyairnya, atau ditulis sekali jadi, tetapi tiap usaha editing adalah ikhtiar meningkatkan intensitas dan mempertajam daya ucap untuk mengatakan sesuatu yang telah ditangkap secara spontan.

Mengingat kebiasaan seperti itu, sajak-sajak Denny JA memperlihatkan wataknya yang menyimpang dari kebiasaan.

Kelima sajak itu lahir dari suatu desain yang sadar. Tema yang digarap adalah soal diskriminasi di Indonesia pada masa reformasi, panjang masing-masing sajak itu relatif hampir sama.

Tiap sajak dilengkapi dengan catatan kaki yang ekstensif untuk memberi informasi tentang situasi sosial saat terjadinya peristiwa yang dilukiskan dalam sajak.

Tak lupa disertakan data-data, yang dimaksud untuk membangun Sitzim Leben baik bagi tokoh liris maupun bagi peristiwa liris yang dilukiskan.

Tokoh liris adalah juga anggota masyarakat yang relatif dikenal oleh publik pembaca, karena berita tentang mereka atau jenis peristiwa yang dialaminya diberitakan luas di media cetak dan media elektronik.

Itu sebabnya penulisnya tidak menyebut kelima buah penanya ini sajak, tetapi puisi esai. Ada niat untuk mencobakan suatu bentuk lain dalam berekspresi, dengan menggabungkan puisi dan esai.

Apakah ini merupakan sebuah bentuk yang amat baru dalam puisi Indonesia, akan dicoba ditinjau secara selayang pandang dalam pengantar ini.

Sajak-sajak panjang ini segera mengingatkan kita akan berbagai balada yang ditulis para penyair Indonesia modern.

Balada adalah sajak yang mengandung suatu narasi yang lengkap, entah narasi tentang sebuah folklore yang hidup dalam suatu komunitas, ataupun narasi yang disusun oleh penyairnya sendiri berdasarkan cerita rakyat.

Amir Hamzah menulis balada “Hang Tuah” Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan, dalam mempertahankan Malaka, tetapi akhirnya tewas dalam pertempuran oleh peluru meriam Portugis:

Peluru terbang menuju bahtera/

Laksamana dijulang ke dalam segara (7)

Penyair Pujangga Baru ini juga menghidupkan kembali cerita rakyat yang lain dalam balada “Batu Belah” yaitu batu yang siap meremukkan korban dalam mulutnya apabila dipanggil dengan mantera yang benar:

Batu belah, batu bertangkup/

Batu tepian tempat mandi/

Insya Allah tiadaku takut/

Sudah demikian kuperbuat janji. (8)

Ajip Rosidi menulis balada “Jante Arkidam”, jagoan yang tak bisa dibekuk, karena kepandaiannya berubah wujud dari lelaki menjadi perempuan cantik, dan kemudian berubah lagi menjadi lelaki perkasa.

Dia raja judi dalam tiap perhelatan, dapat menembus jeruji besi pegadaian, dan menaklukkan setiap perempuan yang disenanginya:

Mulut mana yang tak direguk nya/

Dada mana yang tak diperasnya?/

Bidang riap berbulu hitam/

Ruas tulangnya panjang-panjang/

Telah terbenam beratus perempuan/

Di wajahnya yang tegap (9)

Dilihat dari tradisi puisi Indonesia dan puisi dunia, kelima sajak panjang Denny JA dapatlah dimasukkan ke dalam kelompok balada, khususnya balada literer sebagaimana diperkenalkan oleh Franscois Villon di Prancis abad 14-15, yang berbeda dari balada rakyat yaitu jenis balada yang mengisahkan kembali folklor dalam bentuk puisi.

Patut dikemukakan bahwa sekalipun mengambil bentuk balada, kelima sajak panjang ini memusatkan perhatian bukan pada riwayat dan perjalanan hidup para aktor liris, melainkan mengambil sebagai pokok konflik batin yang diderita para aktor liris dalam menghadapi diskriminasi yang menimpa mereka dan harus mereka hadapi.

Dengan lain perkataan, penyair pun kadangkala tak dapat menghindar dari persoalan sosial yang menimpa masyarakatnya, dan akhirnya tak bisa lagi mengisolasi puisi dari keterlibatan yang langsung dalam tanggung jawab sosial.

Dalam kelima sajaknya, Denny JA dengan tegas memilih untuk berpihak pada para korban diskriminasi, dan seakan menitipkan protes, simpati, dan tekadnya melawan arus ketidakadilan melalui suara para aktor liris, dan merasa memikul tanggung jawab untuk melakukan advokasi terhadap mereka yang tidak diperlakukan sama dan setara di depan hukum.

Para aktor liris ini seakan ditakdirkan untuk berhadapan dengan hambatan yang tak dapat disingkirkan dalam mencapai niatnya, sambil menderita hukuman sosial hanya lantaran keyakinan yang dianutnya, dan mengalami persekusi oleh pihak yang memperlakukan mereka sebagai anggota out-group, yang dalam praktik tak banyak bedanya dengan nasib para outcast, yang tak diakui keanggotaannya dalam masyarakat dan menjadi paria secara sosial.

Untuk yang melakukan diskriminasi, sikap diskriminatif itu muncul dari prasangka perbedaan agama (dalam sajak “Bunga Kering Perpisahan”), prasangka perbedaan paham tentang agama (dalam sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”), prasangka perbedaan etnis (dalam sajak “Sapu Tangan Fang Yin”), prasangka tentang perbedaan orientasi seksual (dalam sajak “Cinta Terlarang Batman dan Robin”), dan prasangka perbedaan kelas sosial (dalam sajak “Minah Tetap Dipancung”).

Indonesia bukanlah suatu negeri dengan masyarakat yang bebas prasangka, sesuatu yang juga bukan khas negeri ini. Dengan mudah bisa ditunjuk berbagai prasangka yang menghantui hubungan sosial di negeri-negeri lain, termasuk negeri-negeri yang menyebut dirinya beradab dan maju.

Selain lima jenis prasangka yang dilukiskan dalam sajak-sajak Denny JA, masih bisa disebutkan berbagai prasangka lain yang tak kurang menimbulkan kesulitan seperti prasangka antar budaya, prasangka yang muncul dari perbedaan keyakinan politik, prasangka ilmu pengetahuan, dan prasangka antar-generasi dan antargender.

Namun demikian kuatnya lima prasangka yang dilukiskan Denny JA, terutama disebabkan karena prasangka tersebut telah membawa korban di antara orang-orang yang belum tentu bersalah.

Hal ini telah menyebabkan penulisnya mengambil sikap berpihak yang kategoris, dan menyatakan pembelaannya yang ditulis dalam sajak-sajak panjang ini.

Keberpihakan itu sedemikian kuatnya, sehingga buat sebagian, sajak-sajak ini memperdengarkan nada yang mirip suatu manifesto, sekali pun disusun dalam lariklarik sebuah sajak.

Terlalu pahit untuk menyelami batin seorang gadis yang diperkosa beramai-ramai dalam kerusuhan anti Cina pada peralihan politik 1998, sebagai orang yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin/ sebab kebahagiaannya tinggal ampas (sajak “Sapu Tangan Fang Yin”).

Dilukiskan pertentangan paham di antara mereka yangyakin bahwa di Indonesia agama di atas sega lanya/ tak terkecuali cinta remaja (sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”) dan pihak lain yang berpandangan bahwa manusia lebih tua dari agama/ cinta sudah ada sejak manusia diciptakanNya/ cinta lebih tua dari agama,/ ingat, cinta lebih tua dari agama (sajak “Bunga Kering Perpisahan”).

Atau siapakah yang harus dipersalahkan kalau seorang Amir telah dua kali mencoba beristri (sesuai nasihat ibunya) dan tak merasakan gairah cinta terhadap perempuan yang tidur di sampingnya?

Di depan pusara ibunya dia membuat pengakuan yang membuat rerumputan sekitar makam tersentak/ angin di pohon kamboja diam mendadak.

Pada suatu sore yang sunyi dia melaksanakan tekadnya karena di atas semesta harus ditegakkan kejujuran.

Maka berkatalah ia ke ibunya yang terbaring dalam pusara, Ibu, dengarkan baik baik ya ibu,/

Anakmu laki-laki ini seorang homoseks./

Aku seorang homoseks, Ibu!/

Telah kulawan naluriku selama ini/

tapi tak mampu

aku!/

Aku tetap seorang homoseks!/ Maafkan aku, Ibu (sajak “Cinta Terlarang Batman dan Robin”).

Di tempat lain seorang TKW yang bekerja di Timur Tengah memperkenalkan diri:

Aminah namaku/

Minah panggilanku,/

TKW asal Indonesia/ kerja di Saudi Arabia. Dia mengalami perkosaan bertubi-tubi oleh tuan rumahnya, sambal paspornya ditahan, gajinya tidak dibayar, dan hanya diberi beberapa uang real setiap habis diperkosa.

Dia ingin mengirim uang itu ke rumahnya untuk anaknya 8 tahun yang belum bersekolah karena tak ada biaya. Tetapi hatinya memberontak, dia tak boleh menipu keluarganya dengan uang haram hadiah perkosaan. Dia akhirnya menyobek uang itu tanpa sisa.

Pada percobaan perkosaan terakhir dengan ancaman pisau oleh tuan rumah, dia berhasil merebut pisau itu dan menghunjamkannya ke perut sang pemerkosa yang tewas seketika.

Hukum setempat menetapkan hukuman nyawa ganti nyawa.

Tanpa rasa getir dia mencatat pemerintah memberikan tanggapan/ tapi untuk kasusku,/

itu sudah ketinggalan kereta./

Upaya hukum telat/

upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal/

dan tidak ada pembelaan di pengadilan/

Ya, ya harus aku jalani/ hukuman pancung,/ ya ya, aku harus dipancung!

(sajak “Minah Tetap Dipancung”).

Kian terasa bahwa lemahnya pembelaan politik dan absennya pembelaan hukum, telah melahirkan pembelaan dalam puisi esai yang Anda hadapi sekarang ini.

III

Kelima sajak panjang ini masih disertai catatan kaki yang luas dan panjang. Maksudnya adalah memberikan deskripsi tentang kondisi sosial di mana, mengapa dan bagaimana batin seorang aktor liris menghadapi pergolakan dan konflik.

Patut dicatat bahwa catatan kaki bukanlah hal yang jamak dalam puisi, kecuali dalam antologi-antologi tatkala penyusunnya merasa perlu memberikan keterangan tambahan tentang kehadiran sebuah sajak.

Ini artinya, catatan kaki bukanlah bagian yang organis dari puisi. Tampaknya ini juga dimak lumi penulis, yang memilih cara ini untuk melukiskan perhubungan dunia-dalam dan dunia-luar dalam sajak.

Namun demikian kita dengan mudah menemukan contoh lain dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan kedua dunia itu dengan selaras dalam kerangka sajaknya.

Balada yang ditulis Rendra tentang Orang-Orang Rangkasbitung memperlihatkan kepandaian penyairnya untuk memasukkan konteks sosial ke dalam sajaknya, sehingga hanya dengan membaca sajaknya kita sudah dapat merasakan suasana sosial tempat suatu peristiwa terjadi.

Dalam sajak “Nyanyian Adinda untuk Saijah” Rendra menulis:

Di Kalijodo aku menyanyi di dalam hati/

Kawih asih seperti pohon tanpa daun,/

Mengandung duka seperti pohon tanpa akar./

Saat adalah malam menanti pagi.

 

Dan pada larik berikutnya,

Saijah, akang!/

Tanpa petunjuk dan jejak yang nyata/

Tembang cintaku yang berdebu/

Mencari kamu.(10)

Kisah tentang Saijah yang pindah mencari kerja di Sumatera, perjumpaan Adinda dengan seorang bapak dari balai desa yang ramah dan berduit, bagaimana Adinda mau dirayu untuk diantar naik bus oleh bapak tersebut, bermalam di Karawaci dan akhirnya mengalami perkosaan di tempat penginapan, semuanya ditulis dalam sajak, sehingga tanpa catatan kaki apa pun seorang pembaca segera merasakan suasana dan kondisi sosial yang menjebak Adinda dalam rindunya kepada Saijah.

Dengan singkat, catatan kaki hanyalah teknik yang tidak merupakan bagian konstitusional dari sajak yang ditulis.

Bagi seorang pembaca seperti saya, percobaan oleh Denny JA adalah langkah untuk mengintegrasikan puisi dalam suatu Gerakan sosial baru di Indonesia. Langkah ini telah di ambil dengan kesadaran penuh oleh penulisnya, termasuk risiko yang mungkin timbul: dalam pertimbangan literary criticism.

Ada dua segi yang terlihat di sini: integrasi Gerakan sosial ke dalam puisi Indonesia, dan integrasi puisi ke dalam gerakan sosial baru.

Dugaan saya, dalam percobaan yang mungkin dilakukan oleh penyair lain yang menulis puisi esai, akan terlihat nanti, segi mana yang lebih menjadi perhatian masing-masing dari mereka, sesuai dengan kecenderungan pribadi, perhatian dan latar belakang budaya dan pendidikan serta keterlibatan sosial dan pengalaman literer.

Bagaimana pun hal nya, ternyata selalu ada prakarsa baru dalam kebudayaan dan kesadaran sosial, yang membuka suatu cakrawala untuk pengembangan kreativitas, baik kreativitas literer maupun kreativitas sosial politik, yang menandai harapan bahwa kehidupan bangsa ini tetap berdenyut, sekali pun ada demikian banyak bencana alam dan prahara politik yang menimpa saat ini.

Ada dua hal dalam kesenian, dan dalam sastra khususnya, yang sebaiknya dibedakan, meskipun beberapa penyair yang kuat dapat mempersatukannya dalam sekali hentakan.

Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo atau Afrizal Malna adalah penyair yang menghasilkan puisi dengan kualitas yang bisa dikenang sekalipun mereka bukanlah pembaharu dalam puisi Indonesia.

Chairil adalah pembaharu dengan sajak-sajak yang tetap mengilhami sampai sekarang, dan tradisi persajakannya membuka jalur yang diikuti banyak penyair hingga saat ini. Akan tetapi Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair yang orisinal dan sedikit banyaknya pembaharu dalam puisi Indonesia, meskipun tidak mempunyai banyak pengikut yang menulis dalam tradisi yang dicoba dirintisnya.

Bagi perkembangan sastra Indonesia, kita mengharapkan lebih banyak penyair muda yang sebaiknya tampil dengan bentuk ekspresi yang orisinal, tanpa terlalu berambisi menjadi pembaharu atau bukan pembaharu.

Pramoedya menulis novel dengan cara yang sangat konvensional, dan tak ada kegenitan untuk pembaruan apa pun, tetapi karya-karyanya telah menarik perhatian para kritikus sastra dunia hingga saat ini, dan tak kurang-kurangnya merebut peminat di kalangan pembaca muda di tanah air kita.

Ini artinya suatu gerakan sosial dan generasi puisi tidak selalu berkoinsidensi dalam satu angkatan yang sama.

Saya merasa minimnya perhatian pemerintah terhadap masalah sosial, dan semakin tumpulnya sensitivitas sosial di kalangan masyarakat sipil di Indonesia, telah menimbulkan countervailing movement dalam gerakan sosial yang memusatkan perhatian dan energinya pada penyelesaian masalah-masalah sosial, sebagaimana terlihat dalam lima puisi esai yang ada dalam kumpulan sajak ini.

Ini saja merupakan suatu hal yang sepatutnya diterima dan didukung karena menjadi bukti bahwa baik kepekaan maupun kreativitas sosial-politik di Indonesia tetap hidup subur, dan memberi warna kepada perubahan sosial akibat adanya ikhtiar menarik perhatian publik kepada penyelesaian masalah-masalah sosial tersebut.

Akan tetapi gerakan sosial adalah suatu hal dan Gerakan puisi adalah hal lain. Mengutip Chairil Anwar, keduanya harus dicatet/ keduanya dapat tempat (sajak “Catetan Th. 1946”) (11).

Namun demi kian, penggunaan format puisi untuk menjadi wadah bagi suatu amanat sosial mem persyaratkan terpenuhinya dua hal secara serentak, yaitu otentisitas masalah sosial yang dibicarakan, dan otentisitas puisi yang meng ekspresikannya.

Kritik terhadap penggunaan puisi hanya sebagai sarana komunikasi sudah mendapat pembahasan kritis berulang kali, khususnya terhadap misi yang dicanangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam sajak-sajak pendidikannya, dan tidak perlu diulang kaji di sini.

Apa pun soalnya, percobaan yang dilakukan Denny JA selayaknya mendapat apresiasi kita, karena tidaklah mustahil bahwa usaha ini akan menarik atau mendorong percobaan yang bakal dilakukan oleh penulis dan penyair lainnya, yang bisa saja menghasilkan suatu pencapaian lain, yang tidak terbayangkan sebelum ini, sementara pencapaian ini telah dibukakan jalannya oleh sajak-sajak Panjang Denny JA.

IV

Sajak-sajak sosial bukanlah gejala baru dalam puisi Indonesia. Ini mudah dipahami, karena hati yang peka menangkap pesan dari angin yang bertiup, atau mendengar kisah sepanjang masa dari ombak yang mendebur tengah malam, niscaya tak mungkin tak tergerak menyaksikan penderitaan orang lain, atau melihat bagaimana manusia terbagi ke dalam kelas-kelas sosial yang saling menjauhi.

Demikianlah penyair Ajip Rosidi memandang masyarakat selalu terbelah dua, juga dengan nasib yang terbelah dua.

Di bawah langit yang sama/

manusia macam dua: Yang diperah/

dan setiap saat mesti rela/

mengurbankan nyawa, bagai kerbau/

yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau/

ke pembantaian, tak boleh kendati menguak/

 

atau cemeti ‘kan mendera;/

dibedakan dari para dewa/

malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan/

pada kemewahan dan nafsu/

yang bagai lautan: Tak tentu dalam dan luasnya/

menderu dan bergelombang/

sepanjang masa.

(Sajak Ajib Rosidi “Panorama Tanah Air”) (12)

Tema-tema sosial akan bertemu pada titik yang sama: keadilan dan ketidakadilan sosial, kesetaraan atau kesenjangan hak, persamaan atau perbedaan nasib, kemungkinan perbaikan atau susunan masyarakat yang tak berubah, diskriminasi atau emansipasi.

Masalah yang selalu menghantui ialah apakah ketidaksetaraan dalam kemakmuran (sebagai suatu yang hampir tak bisa dicegah) harus membawa kita kepada ketidakadilan (sebagai sesuatu yang dapat dicegah)?

Ataukah susunan masyarakat dengan tingkat-tingkat kesejahteraan, tingkat-tingkat kemampuan, dan tingkat-tingkat pencapaian, harus identik dengan susunan bertingkat dalam hak dan martabat, dan ketidaksetaraan dalam perlindungan politik dan perlindungan hukum?

Soal ini sudah berabad menjadi debat di antara para cerdik cendekia di belahan dunia mana pun dan dalam disiplin ilmu dan filsafat yang klasik maupun modern.

Atas cara yang sama para penyair dari masa ke masa mengutarakan kegelisahan yang sama dengan berbagai cara penyampaian, dengan berbagai citra dan perbandingan, dan kita sering merasa apakah puisi mempunyai nilai penting karena otentisitas ekspresinya atau otentisitas masalah sosial yang diungkapkannya.

Penyair Inggris William Blake yang hidup pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19, senantiasa menyanyikan kedukaan yang melanda masyarakatnya, dan pada suatu ketika merasa harus mengatakan dengan gayanya sendiri terbelahnya masyarakat antara mereka yang berada dalam kesenangan yang serba manis dan mereka yang terdampar dalam kegelapan derita yang tak kunjung putus.

Every night & every morn/

some to misery are born/

every morn & every night/

some are born to sweet delight/

some are born to sweet delight/

some are born to endless night.

(Sajak William Blake “Auguries of Innocence”) (13)

Jakarta, akhir Februari 2012

Catatan Kaki:

1.    “….. barangkali dunia nyata boleh tidak masuk akal, tetapi dunia rekaan harus masuk akal. Dunia nyata lebih tidak masuk akal dibanding dunia rekaan. Segala peristiwa dalam dunia nyata terjadi begitu saja tanpa rancangan pasti sebelumnya, tetapi rangkaian peristiwa dalam dunia rekaan harus diatur sedemikian rupa agar jelas sebaik-baiknya– agar masuk akal.” Lihat Sapardi Djoko Damono, “Permainan Makna”, dalam Pamusuk Eneste (ed.), Proses Kreatif, Jilid I, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009, hal. 155-156.

2.    “Saya hidup dengan disiplin pribadi yang kuat. Saya tengah mencari ‘bentuk seni’ yang tepat untuk isi pikiran dan rohani saya yang sedang terlibat dengan persoalan sosial-ekonomi-politik. Bentuk yang saya pakai dulu tidak memenuhi kebutuhan saya sekarang”. Lihat Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta, Penerbit PT Gramedia, 1984, hal. 65.

3.    “Kata-kata harus bebas dari pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.” Sutardji Colzoum Bachri, “Kredo Puisi”, dimuat dalam Sutardji Colzoum Bachri, O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1981, hal. 13.

4.    Dimuat dalam Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, Jakarta, Yayasan Ananda, 1993, hal. 67.

5.    Rendra, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hal. 82.

6.    Ajip Rosidi, Surat Cinta Enday Rasidin, Jakarta, Pustaka Jaya, 2002, hal. 12.

7.    Lih. Amir Hamzah, Buah Rindu, Jakarta, Dian Rakyat, 1996, hal. 27-30.

8.    Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, Jakarta, Dian Rakyat, 1991, hal. 21-23.

9.    Ajip Rosidi, Cari Muatan, Jakarta, Balai Pustaka, 1998, hal. 67.

10.  Rendra, Orang-Orang Rangkasbitung, Depok, Penerbit Rakit, 2001, hal. 35.

11.  Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (editor Pamusuk Enesta), Jakarta, PT Gramedia, 1986, hal. 53.

12.  Ajip Rosidi, Terkenang Topeng Cirebon, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hal. 155.

13.  William Blake, Selected Poetry (edited with an Introduction and Notes by Michael Mason), Oxford, Oxford University Press, 1996, hal. 176.

Berita Terkait