In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 22 Januari 2024 19:01 WIB
Sutardji Calzoum Bachri bersajak untuk membuktikan bahwa kata mempunyai kehidupan semantis yang lebih liar dan lebih kaya dari konsep-konsep yang dibakukan para penyusun kamus (3).
Joko Pinorbo, penyair celana dan sarung bersajak tentang hal yang sangat seharihari yang apabila dipersonifikasikan akan memperlihatkan dimensi kehidupan yang sering tenggelam dalam banalitas, tetapi bisa diajak bicara dalam dialog yang memikat dan penuh inspirasi.
Di tahun enam puluhan, menulis sajak untuk mengabadikan momentum perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya tentang emosi dan determinasi para mahasiswa dalam menggerakkan suatu perubahan politik yang besar dan bersejarah:
Sebuah jaket berlumur darah/ Kami semua telah menatapmu/ Telah berbagi duka yang agung/ dalam kepedihan bertahun-tahun/ Sebuah sungai membatasi kita/ di bawah terik matahari Jakarta/ antara kebebasan dan penindasan/ berlapis senjata dan sangkur baja
(sajak Taufiq Ismail “Sebuah Jaket Berlumur Darah”) (4).
Sekarang ini pada tahun 2012, seorang peminat puisi, Denny JA, menulis lima sajak panjang dan memaklumkannya sebagai sebuah percobaan untuk memberi bentuk kepada suatu varian lain dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan suasana batin tokoh liris dengan kondisi sosial sebagai konteks yang melahirkan suasana itu.
Apakah percobaan ini membawa suatu pembaruan dalam puisi Indonesia, masih patut dilihat lebih lanjut dalam perjalanan waktu.
Namun demikian, penulisnya secara sadar telah memilih suatu bidang tematik yang menjadi garapannya, yaitu diskriminasi dengan semua prasangka yang telah melahirkannya serta menelan para korban dengan penderitaan jasmani dan konflik batin, yang mungkin hingga saat ini belum cukup diketahui.
Ada biaya manusia dan biaya sosial yang mungkin belum pernah cukup dihitung berapa besarnya.
Persoalan sosial bukanlah gejala baru dalam puisi Indonesia.