In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 22 Januari 2024 19:01 WIB
Hal ini telah menyebabkan penulisnya mengambil sikap berpihak yang kategoris, dan menyatakan pembelaannya yang ditulis dalam sajak-sajak panjang ini.
Keberpihakan itu sedemikian kuatnya, sehingga buat sebagian, sajak-sajak ini memperdengarkan nada yang mirip suatu manifesto, sekali pun disusun dalam lariklarik sebuah sajak.
Terlalu pahit untuk menyelami batin seorang gadis yang diperkosa beramai-ramai dalam kerusuhan anti Cina pada peralihan politik 1998, sebagai orang yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin/ sebab kebahagiaannya tinggal ampas (sajak “Sapu Tangan Fang Yin”).
Dilukiskan pertentangan paham di antara mereka yangyakin bahwa di Indonesia agama di atas sega lanya/ tak terkecuali cinta remaja (sajak “Romi dan Yuli dari Cikeusik”) dan pihak lain yang berpandangan bahwa manusia lebih tua dari agama/ cinta sudah ada sejak manusia diciptakanNya/ cinta lebih tua dari agama,/ ingat, cinta lebih tua dari agama (sajak “Bunga Kering Perpisahan”).
Atau siapakah yang harus dipersalahkan kalau seorang Amir telah dua kali mencoba beristri (sesuai nasihat ibunya) dan tak merasakan gairah cinta terhadap perempuan yang tidur di sampingnya?
Di depan pusara ibunya dia membuat pengakuan yang membuat rerumputan sekitar makam tersentak/ angin di pohon kamboja diam mendadak.
Pada suatu sore yang sunyi dia melaksanakan tekadnya karena di atas semesta harus ditegakkan kejujuran.
Maka berkatalah ia ke ibunya yang terbaring dalam pusara, Ibu, dengarkan baik baik ya ibu,/
Anakmu laki-laki ini seorang homoseks./
Aku seorang homoseks, Ibu!/