Inilah Pengantar Buku Imam Qalyubi “Analisis Semiotik, Linguistik dan Intertekstualitas Terhadap 15 Puisi Esai Denny JA”
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 26 Maret 2025 13:52 WIB

Tubuh kecil Saija hanya daun kering,
jatuh tanpa suara di medan perlawanan.
Saijah gugur.
ibu pertiwi menyerap darahnya,
memeluk dingin pemuda yang celaka.”
Di tanah yang menyerap darah Saijah, tumbuh akar yang tak terpatahkan: setiap tetesnya menjadi huruf dalam kitab yang dibaca angin.
Kain biru Adinda pun berbisik,
"Duka ini bukan akhir, tapi benih dari merah-putih fajar yang akan menyala di kelam kolonial."
Dalam pembacaan ini, Imam Qalyubi tidak hanya membaca kisah tragis dua anak manusia. Ia juga menelanjangi wajah kolonialisme yang mengoyak kemanusiaan.
Puisi ini adalah metateks dari Max Havelaar karya Multatuli, novel penting yang mengungkap penindasan sistem tanam paksa.
Imam menggunakan pendekatan intertekstualitas untuk menunjukkan bahwa puisi ini bukan teks tunggal. Puisi terhubung erat dengan karya sastra lain yang lebih dahulu hidup.
Kisah Saijah dan Adinda bukan hanya disalin. Ia juga ditafsir ulang, diperluas maknanya dalam konteks Indonesia merdeka.
Imam menyebut puisi ini sebagai “resonansi emosional dari novel sejarah yang kini hidup kembali sebagai puisi perjuangan.”
Baca Juga: Menyelam ke Dalam Diri: Pengantar Buku 71 Lukisan Tentang Renungan Jalaluddin Rumi dari Denny JA
Tapi bukan hanya intertekstualitas yang ia gunakan. Imam juga mengandalkan semiotika, terutama gagasan Roland Barthes.