Inilah Pengantar Buku Imam Qalyubi “Analisis Semiotik, Linguistik dan Intertekstualitas Terhadap 15 Puisi Esai Denny JA”
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 26 Maret 2025 13:52 WIB

Tanpa pemahaman simbolisme, kita hanya membaca kelopaknya—bukan aromanya.
Melalui kritik semiotik, seperti yang digunakan Roland Barthes, kita belajar membaca makna ganda, lapisan-lapisan tanda.
Dalam puisi The Raven, karya terkenal Edgar Alan Poe, kata “gagak” bukan hanya burung, tapi gema duka, bayang-bayang kematian, dan trauma yang tak pergi.
Tanpa analisis ini, kita hanya melihat makhluk hitam—bukan kegelapan batin manusia yang ia wakili.
Kedua: Kritik sastra menghubungkan puisi dengan teks-teks lain
Puisi bukan pulau terpencil. Ia tumbuh dari laut teks lain yang mendahuluinya. Kritik intertekstual mengajarkan kita bahwa tiap puisi berbicara dengan puisi lain, entah sebagai kelanjutan, perlawanan, atau pencerminan.
Ketika saya menulis Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka, ia tidak menciptakan kisah baru, tapi menyulam ulang narasi Multatuli.
Dalam hal ini, kritik membantu kita menyadari bahwa puisi tersebut membawa “jiwa” dari teks lama, dan memperkaya maknanya dalam konteks kemerdekaan.
Tanpa kritik intertekstual, kita mungkin tak menyadari bahwa puisi itu berdialog dengan sejarah.
Baca Juga: Menyelam ke Dalam Diri: Pengantar Buku 71 Lukisan Tentang Renungan Jalaluddin Rumi dari Denny JA
Ketiga: Kritik sastra menjembatani puisi dengan realitas sosial dan psikologis