Yang Bukan Kritikus Seni Rupa Boleh Ambil Bagian: Sebuah Pengantar Buku Pameran Lukisan Bantuan AI dari Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 24 Juli 2024 08:40 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Datangnya era artificial intelligence (AI) memungkinkan itu. Kreator yang memamerkan lukisannya bukanlah pelukis profesional, yang dikenal memiliki tradisi panjang di dunia lukisan.
Pengulas pameran lukisan itu bukan pula kritikus seni rupa.
Memang, dua puluh lima penulis ini bukanlah kritikus seni rupa profesional. Mereka tidak belajar teori seni rupa, dan bukan pula yang berprofesi sebagai pelukis.
Mereka adalah sastrawan, penulis kolom, wartawan, aktivis keberagaman agama, ahli hukum, dan pengajar. Mereka melihat pameran lukisan, lalu menuliskan pengalamannya.
Lukisan yang mereka nikmati bukan pula lukisan biasa. Itu 186 lukisan karya seorang konsultan politik, saya sendiri, yang dibantu oleh asisten artificial intelligence.
Ruang pameran pun bukanlah Taman Ismail Marzuki atau galeri pada umumnya. Tempat memajang lukisan hanyalah dinding kosong sebuah hotel 6 lantai di jalan Mahakam, Jakarta, yang kemudian disulap menjadi galeri.
Di situlah uniknya. Ini era ketika terjadi demokratisasi seni rupa. Akibat kehadiran artificial intelligence, yang bukan pelukis profesional pun bisa menumpahkan gejolak batin dan visinya ke dalam kanvas.
Yang bukan kritikus seni rupa pun bisa mengekspresikan pengalamannya, tidak dengan teori seni rupa, tapi sisi human interest, kesan personal atas lukisan. Artificial intelligence pun bisa mereka gunakan untuk menambah bobot tulisan.
-000-
Membaca ulasan seni rupa 25 penulis ini, saya teringat review Amelia Brown. Waktu itu, ia menghadiri dan menikmati pameran “Whitney Biennial 2017" di Whitney Museum of America. (1)