DECEMBER 9, 2022
Kolom

Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra: Pengantar Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Yang Menggigil Dalam Arus Sejarah

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Sebuah pagi, sebelum 1945.

Sastra tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga melindungi luka-luka mereka yang tak terdengar.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

Puisi esai adalah genre sastra yang menggabungkan puisi dan esai dalam satu kesatuan naratif. Ia lahir dari kebutuhan untuk menyampaikan peristiwa nyata dengan cara yang lebih puitis.

Ia menghidupkan sejarah, tragedi, atau fenomena sosial melalui kata-kata yang bergetar. Dalam puisi esai, kisah nyata mengalami dramatisasi, bukan untuk mengubah faktanya, tetapi untuk menggali kedalaman emosional yang mungkin tak tersampaikan dalam berita atau data semata.

Yang membedakan puisi esai dari puisi biasa adalah keberadaan catatan kaki yang menyertai puisi. Catatan kaki ini bukan sekadar tambahan, melainkan jiwa dari puisi esai itu sendiri, karena ia menjadi jembatan antara fakta dan imajinasi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Ia menunjukkan bahwa kisah yang dipuisikan bukan sekadar rekaan, tetapi berpijak pada peristiwa yang benar-benar terjadi.

Puisi esai adalah true story yang difiksikan, ketika fakta, berita, dan cerita berpadu dalam harmoni. Ia memungkinkan pembaca tidak hanya mengetahui, tetapi juga mengalami.

Lebih dari sekadar laporan sejarah atau artikel investigatif, puisi esai menyusup ke dalam batin pembaca, mengajak mereka menyelami rasa takut, harapan, kehilangan, dan keberanian yang tersembunyi dalam arus sejarah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence

Jika sejarah adalah kanvas, maka puisi esai adalah goresan warna yang menghidupkannya.

Halaman:

Berita Terkait