Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra: Pengantar Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Yang Menggigil Dalam Arus Sejarah
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 21 Maret 2025 08:09 WIB

Kita bisa membaca Revolusi Kebudayaan dalam buku akademik, tetapi bagaimana rasanya menjadi seorang penyair yang ditangkap hanya karena menulis?
Dalam Puisi Melawan Mao Zedong, ketakutan merayap di dinding penjara:
*“Di puncak istananya,
Mao Zedong gusar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence
Revolusi itu nyala yang menghanguskan.
Tetapi ia takut api mulai meredup.”
Ia meniup bara dengan cemas,
membakar buku agar dirinya tetap terang.
Genggamannya melemah.
Bisikan perlawanan mulai tumbuh.
Di antara bait puisi dan pemikiran bebas,
ia mencium aroma pengkhianatan,
dan mengubah tinta menjadi pemberontakan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
Puisi esai ini menggambarkan perlawanan para aktivis dan seniman yang tak berdaya. Tapi spirit perlawanan ini mereka rekam ke dalam puisi:
“Di dinding selnya yang lembap,
dengan darah dari jarinya yang pecah,
ia menulis:
‘Jika dunia membungkam suaraku,
biarkan bayang-bayang menyanyikannya.’”
Kata-kata selalu menemukan jalannya, bahkan di balik tembok yang paling tebal.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence
Dan dalam perang yang tampaknya tanpa ampun, puisi esai menemukan celah untuk mengangkat sisi kemanusiaan.