Puisi Esai Denny JA: Aku dan Ibuku Terisolasi
Sebuah Puisi Esai
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - (Bencana Sumatra menelan lebih dari 1000 nyawa. Sebagian wafat setelah banjir mereda, karena terisolasi.) (1)
-000-
“Bu, minumlah ini,
seteguk lagi…
tinggal ini yang tersisa.”
Aku mengulurkan botol itu dengan tangan bergetar,
seakan menyerahkan sisa hidup yang masih mau tinggal.
Airnya keruh,
namun di mata ibu
ia berpendar seperti lentera terakhir,
yang menolak padam di ujung malam.
Segala sesuatu di sekitar kami pecah bentuknya,
menjadi halaman yang direnggut dari buku kehidupan:
jembatan patah menyerupai tulang yang retak bunyinya,
jalan menjelma sungai yang tak mau berhenti bercerita,
dan angin menyelinap masuk
membawa sejenis duka,
yang tak pernah tahu namanya sendiri.
Kami bukan pengungsi,
kami cuma dua tanda kecil
di peta besar yang terlipat sedemikian rupa,
hingga tak ada mata pun,
yang bisa menemukannya lagi.
-000-
Yang paling menyakitkan bukan hanya banjirnya,
tetapi sunyi setelahnya.
Ketika air surut, korban justru bertambah,
bukan dihanyutkan arus,
melainkan dijatuhkan jarak yang tak sempat dijembatani siapa pun.
Ibu rebah di pangkuanku,
napasnya tersengal,
ia lampu minyak yang sedang mencari alasan untuk tetap menyala.
Aku menunduk, menangis;
di sela jemariku, tanah yang dulu hijau
kini menggumpal seperti dosa yang basah.
Bertahun-tahun kupotong hutan menjadi koin-koin upah,
tak kusangka setiap batang yang rubuh
diam-diam menebang sedikit napas ibu.
Ketika bukit pecah dan air merayap ke rumah kami,
aku mendengar bunyi gergaji masa lalu,
berubah menjadi napas ibu yang tersendat pelan.
Kini, ketika bukit runtuh dan air mengambil rumah kami,
aku mendengar pohon-pohon itu berbisik dalam kepalaku:
“Kami tumbang—
dan kalian ikut tenggelam.”
-000-
Di malam terakhir,
angin menyapu wajah ibu dengan lembut,
menjadi tangan yang hendak menutup cerita.
Aku memanggilnya berulang-ulang,
“Ibu, ibu.., ibu….!”
tapi yang kembali hanyalah diam,
diam yang turun perlahan
menjadi hujan yang kehilangan alamat.
Ibu pergi bukan karena banjir,
melainkan karena dunia tak tiba tepat waktu.
-000-
Kini hanya jejak kaki kami
yang tertinggal di lumpur halaman,
perlahan dihapus air seperti nama yang tak sempat tercatat.
Di tepi sungai yang mengangkut reruntuhan rumah,
aku memanggil ibu dalam hati,
seperti orang memanggil nomor darurat yang tak lagi aktif.
Berapa banyak nyawa harus padam dalam jeda sinyal,
dalam jalan yang putus,
dalam peta yang tak pernah terbuka.
Sebelum kita mengerti
bahwa yang membunuh ibu
bukan hanya air,
melainkan jarak yang tak dijembatani siapa pun.
Di layar kecil ponselku,
aneka bantuan,
hanya muncul sebagai notifikasi tertunda;
truk bantuan berbaris rapi di berita,
sementara di koordinat kami,
hanya suara katak dan detak jam dinding yang menua.
Dan di dalam diriku, banjir tak pernah surut;
airnya menjalar pelan di lorong ingatan,
menyisakan satu ruang kosong
yang selamanya kupanggil:
tempat dunia terlambat tiba.*
Jakarta, 11 Desember 2025
(1) Banyak korban wafat justru karena terisolasi setelah banjir
Death strikes stranded evacuees in isolated Sumatra shelters – The Jakarta Post
-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/17WNLRuALQ/?mibextid=wwXIfr