Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra: Pengantar Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Yang Menggigil Dalam Arus Sejarah
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 21 Maret 2025 08:09 WIB

Tidak.
Sejarah membutuhkan hati untuk bisa diingat.
Sejak menjadi aktivis mahasiswa dan kolumnis di tahun 1980-an, saya begitu takjub membaca drama manusia dalam sejarah yang terus bergerak. Aneka kisah dramatis sejarah itu kini saya tuangkan dalam puisi esai.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence
-000-
Ada alasan mengapa sejarah perlu direkam dalam sastra. Kita bisa membaca tentang enam juta korban Holocaust dalam buku sejarah. Namun, apakah itu cukup? (1)
Angka tidak menangis, tidak bergetar, tidak meratap. Tetapi dalam puisi, sejarah menemukan denyutnya kembali.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
Dalam puisi esai Kereta Menuju Neraka, kita menyaksikan seorang anak yang kehilangan ibunya di gerbang Auschwitz. Tragedi tidak lagi berupa statistik, tetapi hadir sebagai kehilangan yang begitu nyata:
*“Ibuku menggenggam tanganku,
tapi tangan lain merenggutnya dariku.
Seorang pria berjas putih berdiri di depanku,
seperti dewa tanpa hati.
Satu jentikan jari,
dan dunia berubah.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence
Kanan: hidup.
Kiri: mati.