DECEMBER 9, 2022
Kolom

Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra: Pengantar Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Yang Menggigil Dalam Arus Sejarah

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

-000-

Lalu dimana bedanya puisi esai yang juga merekam sejarah dengan histografi, ilmu sejarah?

Sejarah sering ditulis dengan tinta akademik: dingin, objektif, tanpa emosi. Historiografi adalah usaha manusia memahami masa lalu melalui metode ilmiah, meneliti dokumen, membandingkan sumber, dan menyusun kronologi peristiwa. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

Ia menjaga jarak dari subjeknya, menjaga kredibilitas dengan netralitas.
Tetapi apakah sejarah cukup direkam dengan data?

Puisi esai menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia bukan sekadar pencatatan, melainkan pengalaman. Ia menghidupkan kisah yang tersembunyi di balik angka-angka, menjembatani fakta dengan rasa. 

Jika historiografi mengarsipkan, puisi esai menghidupkan. Jika historiografi mencatat kemenangan dan kekalahan, puisi esai mengisahkan rintihan yang terlupakan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

Ketika historiografi menyatakan, “Enam juta Yahudi terbunuh dalam Holocaust,” puisi esai bertanya, “Bagaimana rasanya kehilangan ibu di gerbang Auschwitz?”

Sejarah mencatat peristiwa. Puisi esai mengabadikan jiwa.
Dalam peradaban yang terus bergerak, keduanya bisa saling melengkapi.

Historiografi memberi struktur. Puisi esai memberi nyawa. Dan di antara keduanya, manusia menemukan makna sejarah. Peristiwa di masa lalu bukan sekadar untuk diingat, tetapi untuk dirasakan kembali.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence

-000-

Halaman:

Berita Terkait