Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Kamis, 13 Maret 2025 10:18 WIB

Kekosongan Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence (6)
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah jalan kecil di Kyoto, Jepang, seorang pria tua berdiri di depan kuil Buddha yang diterangi lentera merah. Hari itu malam Natal. Namun, pria itu bukan seorang Kristen. Ia seorang biksu Zen, dan di tangannya ada secangkir teh hijau.
Di jalanan yang sama, beberapa keluarga Jepang sedang berfoto di depan pohon Natal yang menjulang di depan sebuah pusat perbelanjaan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kejayaan yang Dikalahkan Oleh Teknologi
Lagu “Silent Night” mengalun lembut di udara. Esok harinya, mereka akan tetap ke kuil Shinto untuk menyambut Tahun Baru.
Di belahan dunia lain, di Paris, seorang ateis duduk di kursi katedral tua. Ia bukan datang untuk berdoa, tetapi untuk menikmati keheningan, merasakan atmosfer sakral yang telah berusia berabad-abad. Baginya, gereja adalah ruang bagi wisata spiritual.
Apa yang sedang terjadi?
Agama, yang dulu merupakan batasan identitas yang tegas, kini menjadi warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja. Ia bukan lagi pagar yang memisahkan, tetapi jendela yang terbuka bagi siapa pun yang ingin mengintip ke dalamnya.
Di abad ke-21, batas antara agama dan spiritualitas semakin kabur. Muncul fenomena baru: mereka yang mencari makna hidup, tetapi tidak lagi mengikat diri secara kaku dan eksklusif pada satu agama tertentu.
Mereka ini sering disebut spiritual but not religious (SBNR). Menurut survei global, kelompok ini kini menjadi yang terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam. (1)
Baca Juga: Catatan Denny JA: Perempuan Menjadi Nahkoda Kapalnya Sendiri, 89 Tahun NH Dini
Mereka tidak menolak agama, tetapi juga tidak terikat pada dogma. Mereka bisa mengadopsi meditasi Buddha, tapi menghayati kasih Kristiani.