Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra: Pengantar Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Yang Menggigil Dalam Arus Sejarah
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 21 Maret 2025 08:09 WIB

ORBITINDONESIA.COM - “Sejarah bukanlah sekadar catatan peristiwa, tetapi kisah manusia yang terjebak dalam pusarannya.
Dan, di antara angka-angka dan tanggal-tanggal yang beku, sastra hadir untuk menghembuskan napas ke dalamnya, menghidupkan yang terlupakan.”
Sejarah acapkali ditulis dengan darah. Di setiap zaman, ada mereka yang tercatat sebagai pemenang, dan ada yang lenyap dalam diam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence
Nama-nama besar memenuhi halaman buku, tetapi bagaimana dengan mereka yang hilang di tengah gelombang, yang terbakar dalam revolusi, yang dipaksa melangkah ke dalam peristiwa yang tidak mereka pilih?
Mereka yang terbunuh dalam perang tidak sekadar angka. Mereka memiliki impian yang patah, surat yang tak pernah sampai, lagu pengantar tidur yang tak sempat dinyanyikan.
Buku ini adalah usaha untuk menyelamatkan mereka dari kesunyian sejarah. Ia mengumpulkan jeritan yang terserak dari berbagai zaman: dari Revolusi Prancis, ketika monarki tumbang dan guillotine berdarah; dari Perang Sipil Amerika, ketika bangsa yang sama berperang demi kebebasan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
Juga tangisan dalam Revolusi Rusia, yang mengubah wajah kekuasaan; dari parit-parit berlumpur Perang Dunia Pertama, hingga Holocaust, yang menciptakan deretan angka di lengan manusia.
Sejarah ini juga bukan hanya milik Eropa. Di Timur, Revolusi Kebudayaan China menghancurkan mereka yang berani berpikir. Sementara di Vietnam, ribuan pengungsi menyerahkan diri kepada lautan daripada hidup dalam ketakutan.
Hiroshima pun mencatat sebuah pagi yang tidak pernah kembali normal, ketika kota itu berubah menjadi abu dalam hitungan detik.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence
Bagaimana cara kita mengingat mereka? Apakah cukup dengan monumen batu dan arsip kuno?