Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Maret 2025 12:34 WIB

Apa yang baru dari jenis komunitas agama di era AI yang belum disentuh oleh para sosiolog klasik era Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx?
Sosiolog Emile Durkheim melihat agama sebagai perekat sosial. Max Weber menelaah dampaknya terhadap etika ekonomi. Dan Karl Marx menganggapnya sebagai instrumen kekuasaan.
Namun, di era kecerdasan buatan (AI), komunitas agama berkembang dalam lanskap baru: dunia digital.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Dulu, komunitas agama lahir dari interaksi fisik, ritual yang dijalankan bersama, dan hubungan sosial yang nyata.
Kini, komunitas dapat terbentuk tanpa keterikatan geografis. Sebuah doa bisa diketik dalam forum daring, meditasi bisa dilakukan bersama melalui aplikasi, dan pengalaman spiritual bisa dirasakan melalui realitas virtual.
Inilah yang belum terbayangkan oleh para sosiolog klasik: agama yang terus bertahan tanpa batas ruang dan waktu, dipelihara oleh algoritma, dan direproduksi dalam jaringan digital.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Dalam sejarahnya, ritual keagamaan selalu melibatkan manusia—seorang imam yang memimpin doa, seorang biksu yang membacakan sutra, atau seorang pendeta yang memberikan khotbah.
Namun, di era AI, teknologi mulai mengambil alih peran tersebut. Hari ini, sudah ada imam virtual yang bisa mengajarkan tafsir agama.
Sudah ada biksu AI yang bisa memimpin sesi meditasi. Hadir pula robot pendeta yang mampu memberikan penghiburan spiritual kepada jemaatnya.
Sebuah aplikasi bisa mengingatkan seseorang untuk berdoa, menyesuaikan ajaran dengan kondisi psikologisnya. AI bahkan memberikan nasihat spiritual berdasarkan data yang dikumpulkan dari pola hidupnya.