Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Maret 2025 12:34 WIB

Entah dalam ritual fisik atau digital, selama masih ada yang mencari makna, cahaya spiritual akan terus menyala—meski kini, mungkin, dalam bentuk kode dan data.
Bayangkan sebuah malam di tahun 2030. Ini bukan fakta nyata hari ini, tapi sebuah prediksi ke depan. Di sebuah laboratorium Al di Kyoto, para insinyur dan teolog duduk bersama.
Di layar raksasa di depan mereka, sebuah model Al bernama Harmonia sedang memproses 127 ribu konflik agama sepanjang sejarah-dari Perang Salib hingga kerusuhan etnis kontemporer. AI ini juga merancang pola rekonsiliasi berbasis prinsip kesamaan ajaran agama.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Harmonia bukan sekadar alat. la telah belajar dari kegagalan manusia: bagaimana eksklusivisme memicu kekerasan, bagaimana tafsir literal melahirkan fanatisme.
Namun, Al ini juga mengungkap sesuatu yang mengejutkan: 73% konflik agama abad ke-21 bermula dari kesalahpahaman linguistik-bukan perbedaan doktrin.
Contoh nyata: Di Nigeria, Harmonia menganalisis 5.000 khotbah dari gereja dan masjid. la menemukan bahwa kata "Tuhan" dalam khotbah Kristen sering diterjemahkan sebagai "Chi" (dewa lokal), sementara dalam Islam sebagai "Allah"—dua istilah yang dianggap berbeda oleh masyarakat.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Al lalu melatih pendeta dan imam untuk menggunakan frasa "Sumber Semua Cahaya" sebagai terjemahan inklusif.
Hasilnya? Laporan konflik antaragama turun 40% dalam 2 tahun.
-000-
Tapi seberapa penting komunitas untuk merawat sebuah paham agama agar terus bertahan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain?
Di pegunungan terpencil, seorang pertapa duduk dalam kesunyian. Ia tidak butuh gereja, masjid, atau kuil. Ibadahnya hanya percakapan sunyi dengan semesta.