Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Maret 2025 12:34 WIB

Dewa menatap ponselnya, tersenyum kecil. Ia mulai memahami sesuatu.
-000-
Dulu, manusia harus memilih. Seseorang lahir dalam satu agama, tumbuh dengan ajarannya, dan sering kali tidak pernah benar-benar menjelajahi yang lain. Tetapi teknologi telah mengubah segalanya.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Kini, dalam satu layar, seseorang bisa membaca Al Qur’an dan Tao Te Ching dalam hitungan detik. Bisa mendengar khutbah tentang kasih sayang dari seorang pendeta Kristen, lalu dalam detik yang sama, membaca wejangan Dalai Lama tentang welas asih.
Hari mulai senja. Dewa menutup aplikasinya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan keluar dari kafe, menelusuri trotoar yang dipenuhi lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Di tikungan jalan, ia melihat seorang pria tua dengan jubah oranye sedang duduk bersila di depan kuil kecil, bibirnya melantunkan mantra pelan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Tidak jauh dari sana, seorang ibu berjilbab sedang menggandeng anaknya melewati masjid, sesekali membisikkan doa ke telinga kecil itu.
Di ujung jalan, sebuah gereja berdiri megah, loncengnya berdentang, memanggil jemaat untuk berdoa.
Dewa tersenyum.
Di kota ini, ada begitu banyak jalan yang berbeda. Tetapi kini ia tahu, semuanya mengarah pada cahaya yang sama.