DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Di sudut dunia lain, sebuah komunitas berdoa bersama, menjaga tradisi yang telah berlangsung ribuan tahun.

Siapakah yang benar? Apakah agama tetap bertahan karena komunitas yang menghidupkannya, ataukah ada sesuatu yang lebih mendalam yang menjaganya tetap bernyala?

Sejarah membuktikan bahwa komunitas memang menjadi penjaga agama. Kristen bertahan karena gereja mula-mula, Islam menyebar karena jaringan perdagangannya, dan Buddha menemukan jalannya melalui sangha.

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Namun, apakah ini berarti agama hanya bisa bertahan jika ada komunitas yang menghidupkannya?

Agama sebagai Pengalaman Pribadi

Dalam sejarah mistisisme, banyak tokoh spiritual justru menemukan pencerahan dalam kesendirian.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho

Rumi tidak bergantung pada komunitas, tetapi pada ekstasi cintanya kepada Tuhan. Meister Eckhart menemukan Tuhan dalam keheningan, bukan dalam ritual sosial.

Jika agama hanya bertahan karena komunitas, bagaimana mungkin para sufi, pertapa, dan mistikus tetap memancarkan cahaya iman tanpa jemaat yang mengikutinya?

Komunitas yang Justru Membatasi

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

Komunitas tidak selalu menghidupkan agama; ia juga bisa membatasi dan membelenggunya.

Halaman:

Berita Terkait