Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 16 Maret 2025 12:34 WIB

Ritual tidak lagi membutuhkan tempat ibadah fisik, tetapi bisa dijalankan dalam metaverse.
Ziarah virtual ke Mekah atau Vatikan bisa dilakukan tanpa meninggalkan rumah.
Perjumpaan dengan “dewa” atau “nabi” bisa terjadi dalam realitas virtual, dirancang oleh teknologi yang mampu meniru pengalaman spiritual yang mendalam.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Agama yang dulu sangat bergantung pada pengalaman inderawi kini merambah ke pengalaman yang dihasilkan oleh simulasi digital.
Jika realitas virtual dapat membangkitkan pengalaman spiritual yang sama mendalamnya dengan pengalaman nyata, apakah agama masih memerlukan dunia fisik untuk bertahan?
Di era Durkheim, Weber, dan Marx, agama adalah fenomena sosial yang berakar pada interaksi manusia dalam dunia nyata.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Namun, di era AI, komunitas agama memasuki ranah baru yang melampaui fisik.
Komunitas spiritual tetap hidup, tetapi ia tidak lagi memerlukan batas ruang, waktu, atau bahkan manusia sebagai pemimpinnya.
Ia dapat dipandu oleh AI, diatur oleh algoritma, dan direproduksi dalam simulasi digital.
Namun, satu hal tetap tak berubah: agama hanya bertahan selama ada yang menghidupkannya.