DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Komunitas Agama dan Spiritual di Era Artificial Intelligence

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Di era AI, kita dihadapkan pada paradoks spiritualitas: teknologi membuka akses tanpa batas, tetapi juga menciptakan isolasi. 

Pengalaman individu yang mendalam memang dapat menyalakan cahaya iman, namun tanpa komunitas yang merawatnya, cahaya itu berisiko meredup dalam kesendirian. 

Sebaliknya, komunitas tanpa pencarian otentik dari individu hanya akan menjadi ritual kosong tanpa jiwa. Maka, agama harus menemukan harmoni baru—menggabungkan pencarian makna pribadi dengan energi kolektif yang menghidupkan tradisi.

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

-000-

Di tengah derasnya arus perubahan, satu hal tetap abadi: manusia mencari makna.

AI mungkin membuka pintu bagi siapa saja untuk menjelajahi kebijaksanaan agama tanpa sekat, tetapi tanpa komunitas yang merawatnya, agama bisa kehilangan jiwa yang menjadikannya hidup.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho

Seperti api yang butuh penjaga, agama butuh tangan-tangan yang meneruskan cahayanya, bukan sebagai batas eksklusif, melainkan sebagai lentera yang menerangi jalan semua pencari.

Sebagaimana Rumi menulis, “Lilin tidak kehilangan cahayanya dengan menyalakan lilin lain.”

Di era AI, biarkan agama menjadi cahaya yang bisa dibagikan, bukan dibatasi.***

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

Jakarta, 16 Maret 2025

Halaman:

Berita Terkait