Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 15 Maret 2025 15:11 WIB

Tetapi sejarah menunjukkan, tafsir agama selalu berubah. HAM tidak menyaring Tuhan, tetapi menilai interpretasi manusia atas firman-Nya.
Ada yang berkata, “HAM adalah alat imperialisme budaya.” Tetapi konsep keadilan dan kasih sayang tidak asing bagi agama. HAM bukan paksaan Barat, melainkan refleksi dari nilai-nilai universal.
Ada yang berkata, “HAM tidak bisa menjawab dimensi transendental agama.” HAM tidak menolak spiritualitas. Ia hanya memastikan bahwa pengalaman transendental tidak menjadi alat penindasan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Ada yang berkata, “HAM akan mengikis otoritas agama. Tetapi sejarah menunjukkan, agama yang beradaptasi dengan zaman justru bertahan lebih lama.
Sering kali, HAM dianggap sebagai produk imperialisme Barat, seolah hanya cocok bagi masyarakat individualis. Namun, benarkah nilai-nilai kemanusiaan ini asing bagi budaya non-Barat?
Di Jepang, filosofi wa (harmoni) menekankan keseimbangan sosial dan penghormatan terhadap martabat orang lain. Ini sejalan dengan gagasan hak asasi yang menjunjung keadilan dan kebersamaan.
Di India, konsep ahimsa (tanpa kekerasan) yang diajarkan oleh Gandhi bukan hanya ajaran moral, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak hidup setiap manusia.
Sementara di Nusantara, falsafah gotong royong mengajarkan bahwa kesejahteraan individu tidak bisa dipisahkan dari kesejahteraan bersama. Ini sebuah prinsip yang selaras dengan hak sosial dan ekonomi dalam HAM.
Ketika agama ditafsir ulang dalam semangat kemanusiaan, muncul titik temu antara tradisi dan universalitas HAM. Islam, misalnya, mengajarkan adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang), nilai-nilai yang menjadi inti perlindungan hak-hak manusia.
Dengan memahami bahwa HAM bukanlah monopoli Barat, tetapi gema dari kebijaksanaan yang telah lama tertanam di berbagai peradaban, kita tidak perlu memilih antara modernitas dan tradisi.