Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 15 Maret 2025 15:11 WIB

Di sebuah malam sunyi, seorang pemuda menatap layar. Ia mengetik satu ayat, dan AI merespons. Dalam hitungan detik, tafsir-tafsir lama terurai, perbedaan dihamparkan, kontradiksi antar tafsir disorot.
Sebuah algoritma tanpa iman menggali ayat suci, membuka jendela tafsir ayat itu dari zaman ke zaman. AI membuka mata bahwa tafsir lahir bukan dari kebenaran mutlak, melainkan dari sejarah yang berubah.
Di zaman dulu, hanya para alim yang berhak berbicara. Kini, kecerdasan buatan membaca lebih banyak kitab dalam satu tarikan napas dibanding manusia dalam seumur hidupnya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyambut Peluncuran Buku Puisi Esai Negara Dalam Gerimis Puisi Karya Isti Nugroho
Kini, dalam hitungan detik, setiap individu bisa memperoleh tafsir Ibnu Katsir tentang perbedaan agama, misalnya, dibandingkan dengan pemikiran Rumi, dan para pemikir modern yang menantang dogma abad pertengahan.
Seorang cendekiawan di Kairo mengetik perintah: “Tunjukkan perbedaan tafsir ayat tentang perempuan.”
Kembali dalam hitungan detik, AI menyajikan spektrum tafsir dari konservatif hingga progresif, menampilkan bagaimana konteks sosial membentuk makna.
Contoh nyata pengaruh AI terhadap tafsir agama terlihat dari aplikasi seperti “Sefaria” dalam tradisi Yahudi atau “Quran.com” dalam Islam.
Sefaria, dengan bantuan algoritma AI, memungkinkan pengguna untuk membandingkan tafsir Torah dari berbagai era secara langsung.
Dalam Islam, aplikasi berbasis AI telah membantu umat membedah ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir dari ulama klasik hingga kontemporer, seperti Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh.
Bahkan, beberapa platform AI kini mampu menjawab pertanyaan keagamaan secara interaktif berdasarkan konteks sosial modern.