Kinabalu dan Nobel Sastra untuk Denny JA
- Penulis : Abriyanto
- Sabtu, 08 Februari 2025 09:46 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/08/20250208094451Denny_JA_-_Kreator3.png)
Oleh Syaefudin Simon*
ORBITINDONESIA.COM - Di tepian laut, angin berbisik lirih,
Kota Kinabalu, megah berdiri,
Gunung tinggi jadi saksi sunyi,
Kisah kota, riwayat abadi.
Jalan-jalan berhiaskan cahaya,
Pasar Filipina, aroma bahagia,
Di tangan nelayan, mutiara berkilau,
Seperti harapan, tak pernah pudar.
Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas
Di tebing pantai, ombak menyapa,
Gemersik nyiur menari bersama,
Langit jingga menjelang senja,
Melukis rindu di dada yang hampa.
Anak-anak berlari riang,
Di Gaya Street, tawa menggema,
Hikayat lama masih bertahan,
Di warung kopi dan meja-meja.
Oh, Kota Kinabalu,
Di pelukmu, waktu berlalu,
Seperti puisi, seperti esai,
Menulis kenangan di lembaran damai.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan 2000 Janda Pun Menerjang
Itulah sepenggal puisi tentang Kota Kinabalu yang muncul di AI yang terkait dengan puisi esai. Di bait akhir puisi tersebut, AI menggambarkan suasana yang menggetarkan, seakan mengkonfirmasi bahwa Kinabalu kini memeluk puisi esai untuk kenangan dan perdamaian.
Gambaran tersebut faktual. Betapa tidak! Masyarakat Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia 'tergila-gila" dengan puisi esai yang diinisiasi oleh Denny JA (DJA) di Jakarta, Indonesia. Padahal di Indonesia sendiri, sebagian sastrawan membenci puisi esai karena dianggap tidak puitis, dangkal, kering nuansa. Dan terpenting, di puisi esai ada sosok Denny yang "merajai" komunitas puisi esai. Bagi sebagian sastrawan, Denny adalah nobody dan penuh kontroversi.
Penyair seperti Saut Situmorang dan novelis Remi Sylado, misalnya, menganggap DJA sebagai perusak dunia sastra Indonesia. DJA bukan sastrawan, tapi pakar politik -- kata sebagian sastrawan Indonesia. Karena itu Denny tidak berhak mengklaim diri sebagai sastrawan dan penyair.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tak Pernah Dikirim RA Kartini
Mereka yang mendiskreditkan DJA dalam dunia sastra, tampaknya tidak tahu, bahwa sejak remaja, Denny di samping pinter matematika dan catur, juga pinter membuat puisi. Denny pernah cerita, suatu ketika, dia tetiba trance atau ekstase. Dalam kondisi tak sadarkan diri Denny melantunkan puisi. Teman Denny yang mencatat "kata-kata yang keluar dari mulut Denny" menilai, puisinya sangat bagus, inspiratif dan kontemplatif.
Fenomena semacam itu hanya bisa muncul dari orang yang sedang jatuh cinta terhadap sesuatu. Denny jatuh cinta pada puisi. Di kemudian hari, Denny menjadi kolumnis besar niscaya karena berangkat dari hobi membaca dan menulis puisi tadi.
Denny rupanya mirip intelektual cum ekonom, M.Dawam Rahardjo (MDR, 1942-2018). Selama masa hidupnya, MDR lebih dikenal sebagai pakar ekonomi. Esai dan kolom MDR mayoritas masalah ekonomi. Padahal, Dawam sejak remaja adalah pecinta cerpen dan puisi.
Baca Juga: Perbandingan Pengaruh Denny JA, Chairil Anwar, dan Sapardi Djoko Damono di Mata Empat Aplikasi AI
Sastrawan Umar Kayam (1932-2002) dari UGM Yogyakarta mengakui kalau Dawam yang rajin menulis esai ekonomi itu, awalnya adalah penulis cerpen dan puisi. Dalam sebuah diskusi sastra di Tanam Ismail Marzuki, Jakarta, misalmya, Kayam pernah meminta Dawam jadi pembicara sebagai sastrawan.
Melihat fenomena Denny dan Dawam, pertanyaan pun muncul -- apakah seorang kolumnis atau esais juga seorang sastrawan? Sudibyo, pengamat dan guru sastra Indonesia memberikan contoh sosiolog Arief Budiman, yang menurutnya, adalah sastrawan besar Indonesia -- meski ia bukan novelis atau penyair.
Why? Tulis Sudibyo dalam artikel "Bila Palgunadi Belajar kepada Guru Dorna" di buku bunga rampai "Idealisme dan Kearifan Arief Budimam" -- karena Arief adalah esais. Bagiku esais adalah sastrawan. Sama halnya dengan kritikus, ia pun sastrawan, ungkap Sudibyo.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tapi Kecerdasan Kami Tergolong Rendah, Pak Guru
Sebagai esais, Arief adalah penggagas dan pemikir. Produk esais adalah karya pemikiran. Ukuran kualitas esais adalah kecemerlangan pemikirannya. Sedangkan kualitas kritikus diukur dari ketajaman pengamatannya. Dalam hal ini, dunia sastra sudah mengakui bahwa kritikus adalah sastrawan. Sedangkan esais? No?
Contoh kritikus sastra adalah H.B. Jassin. la banyak melahirkan karya "pengamatan dan kritikan" tentang fenomena sastra Indonesia. Berkat karya kritik itu nama H.B. Jassin sangat terkenal di dunia sastra. Bahkan Jassin mendapat julukan magnifisen: "Paus Sastra". Ini artinya, dunia sastra sudah bersepakat bahwa pengamat sastra -- meski tak menghasilkan karya sastra besar -- adalah sastrawan.
Lalu, bagaimana nasib esais seperti Arief? Adakah komunitas empu sepakat menganggap Arief sebagai sastrawan?
Baca Juga: Puisi Esai Mini Satrio Arismunandar: Kisah Yasir, Yasmin dan Dua Akta Kelahiran
Di dunia pendidikan, nyaris tak ada buku yang menyebutkan Arief sebagai sastrawan. Padahal, ia pernah mengulas seorang penyair besar Chairil Anwar dalam sebuah buku berjudul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (CASP).
Buku CASP adalah adaptasi dari skripsi Arief Budiman di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Dalam buku itu. Arief tak hanya membahas "Sang Binatang Jalang" dari aspek sastra, tapi juga filsafat. Barangkali di dunia kampus, hanya Arief Budiman satu-satunya mahasiswa psikologi yang skripsinya lebih berbau sastrawi dan filosofi ketimbang psikologi.
Arief juga melahirkan beberapa gagasan cemerlang tentang seni dan kesusasteraan Indonesia. Meminjam istilah sastrawan Goenawan Mohamad -- pendiri Majalah Tempo -- Arief Budiman adalah salah seorang tokoh yang membesarkan dunia sastra.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tokoh Revolusioner yang Hidup Sendiri
Peran Arief dalam dunia sastra mungkin mirip dengan Sir Winston Churchill. Jenderal perang Inggris ini mendapat hadiah Nobel Sastra, 1953, meski Churchill nyaris tak dikenal dalam hiruk pikuk dunia kesusasteraan. Bahkan di Inggris sekalipun. Betul, Churchill pernah menulis novel. Tapi novelnya tidak masuk dalam kriteria sastra yang istimewa. Sehingga pantas mendapatkan anugerah Nobel Sastra yang prestisius.
Panitia Nobel di Swedia memberikan hadiah Nobel Sastra kepada Sir Winston Churchill lebih karena perannya dalam membesarkan sastra dari perspektif yang lain. Pidato-pidato Churchill, baik sebagai politisi maupun panglima militer Inggris dalam Perang Dunia Kedua, dianggap menginspirasi masyarakat internasional untuk melawan keserakahan Hitler. Dampaknya luar biasa. Dunia tidak menyerah kepada Nazisme Hitler yang berambisi menguasai seluruh bumi.
Tentu saja ada orang yang hebat di keduanya, baik sebagai kritikus maupun esais. Contohnya Ignas Kleden. Karya-karya kritiknya sangat tajam. Esai-esainya sangat kokoh. Tapi di mata pelajaran sastra Indonesia konvensional, nyaris tak ada yang menyebutkan Ignas Kleden sebagai sastrawan.
Baca Juga: Chairil Anwar, Diponegoro, dan Denny JA
Dari perspektif inilah, kita melihat Denny JA. Sebagai esais dan konsultan politik, harus kita akui Denny menulis karya sastra genre baru. Yaitu puisi esai. Kenapa puisi esai?
Denny mengaku prihatin terhadap dunia puisi yang narasi-narasinya sering absurd, eksklusif, dan terlalu simbolik -- sulit dicerna orang awam. Akibatnya, dunia kepenyairan sangat eksklusif, hanya dihuni individu yang telah dinobatkan sebagai penyair oleh networknya. Ada tembok pemisah antara awam dan penyair. Denny ingin memecah tembok itu melalui puisi esai.
Denny memperkenalkan puisi esai ke publik melalui buku "Atas Nama Cinta" tahun 2012. Bentuknya gabungan puisi naratif dengan unsur esai, di mana cerita yang disampaikan didukung oleh catatan kaki. Footnote ini mengacu pada fakta, data, atau referensi lain. Dengan cara demikian, puisi esai mudah dipahami publik. Bahkan dunia akademik bisa menjadikan puisi esai sebagai referensi ilmu sejarah, budaya, dan kajian sosial politik.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Pejuang Itu Mati dalam Status Tahanan Politik
Sebagian sastrawan menilai, format puisi esai tidak berbeda jauh dari puisi naratif yang sudah ada sebelumnya. Beberapa sastrawan menganggap catatan kaki dalam puisi esai terlalu akademis dan mengurangi nilai estetika puisi. Puisi esai dianggap merusak puisi narasi.
Tapi, dengan banyaknya kritik, bahkan ada demo membakar buku-buku puisi esai di TIM, justru dunia sastra seakan "bangkit kembali". Demo antiDenny tersebut, anehnya, alih-alih memadamkan popularitas puisi esai, yang terjadi malah sebaliknya. Puisi esai makin mencorong.
Buku puisi esai karya Denny, Atas Nama Cinta, misalnya, akibat kritik sengak yang bertubi-tubi di Indonesia, kini makin populer. Di luar negeri, buku ini mendapat apresiasi positif. Dan laris. Setelah Atas Nama Cinta populer, puisi esai mulai banyak ditulis oleh sastrawan lain yang sebelumnya antiDenny.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Marhaen di Abad 21
Tahun 2017, misalnya, buku "Puisi Esai 34 Provinsi" terbit. Penulisnya dari seluruh Indonesia. Mereka membuat puisi esai berdasarkan realitas sosial daerah masing-masing. Puisi model ini, sebelumnya tak ada. Jika pun ada, tak pernah dihiraukan. Lepas dari pengamatan sastrawan.
Dengan semangat dan pengorbanan sastrawan yang pro-Denny, puisi esai terus "bergerak". Ia tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara. Seperti di Brunei Darussalam, Patani Thailand, dan Malaysia. Di negeri Jiran, khususnya di Kota Kinabalu, puisi esai bahkan menemukan momentum yang luar biasa. Puisi esai menjadi trending dan viral di Malaysia melalui Kinabalu.
Berkat perannya yang memacu perkembangan puisi esai, Kota Kinabalu pun mendapat penghargaan sebagai Ibu Kota Puisi Esai pada tahun 2024. Penghargaan ini diberikan oleh Komunitas Puisi Esai dan diserahkan oleh penggagasnya, Denny JA, kepada Wali Kota Bandaraya Kota Kinabalu, Dr. Benedict Oliver Lidadun, dalam acara Festival Puisi Esai Jakarta ke-2 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Desember 2025. Festival ini dihadiri para penyair, penulis, dan akademisi dari berbagai negara di Asia Tenggara.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Rileks Setelah Juara
Dalam sambutannya di festival, Presiden Badan Bahasa dan Sastera Sabah (BAHASA), Dr. Jasni Matlani, mengakui bahwa puisi esai berhasil membangkitkan kembali Sastra Melayu di Malaysia. Dan kebangkitan itu episentrumnya adalah Kinabalu.
Memang Denny bukan Sir Winston Churchill yang pidato-pidatonya menggerakkan perlawanan terhadap Hitler di Eropa. Denny juga bukan Bob Dylan yang meraih Nobel berkat tembang puitisnya yang peduli cinta, derita manusia, dan keadilan. Tapi hal serupa dilakulan Denny. Melalui "Atas Nama Cinta" Denny berhasil mengungkap sisi gelap perilaku "rejim politik dan rejim agama" di Indonesia yang "memperkosa wanita tak berdosa, meneror Ahmadiyah, membunuh hak hidup kaum gay, dan destruksi kemanusiaan.
Betul. Apa yang dilakukan Denny melalui puisi esainya mungkin tidak segempita pidato Churchill dan sepopuler tembang Dylan. Namun apa yang dilakukan Denny intinya serupa seperti yang dilakukan Churchill dan Dylan. Berjuang melalui "sastra" untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Mohammad Hatta dan Korupsi yang Menggila
Denny telah melangkah jauh ke sana, dengan diiringi pujian dan makian. Dan Danny terus melangkah, tak pernah berhenti. Seperti peribahasa -- anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Dari perspektif inilah, Denny mungkin pantas menerima Nobel Sastra seperti halnya Churchill dan Dylan. Pinjam istilah Dr. Satrio Arismunandar, penulis dan wartawan senior, Denny pantas mendapat hadiah Nobel karena memang pantas menerimanya. Tidak mengada-ada.
Semoga hadiah Nobel menghampiri Indonesia dan berlabuh di pelukan Denny JA di masa datang. Mudah-mudahan!
Baca Juga: Orasi Denny JA: Kutunggu Kamu di Neraka
*Syaefudin Simon adalah kolumnis/wartawan senior. ***