Kinabalu dan Nobel Sastra untuk Denny JA
- Penulis : Abriyanto
- Sabtu, 08 Februari 2025 09:46 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/08/20250208094451Denny_JA_-_Kreator3.png)
Tahun 2017, misalnya, buku "Puisi Esai 34 Provinsi" terbit. Penulisnya dari seluruh Indonesia. Mereka membuat puisi esai berdasarkan realitas sosial daerah masing-masing. Puisi model ini, sebelumnya tak ada. Jika pun ada, tak pernah dihiraukan. Lepas dari pengamatan sastrawan.
Dengan semangat dan pengorbanan sastrawan yang pro-Denny, puisi esai terus "bergerak". Ia tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara. Seperti di Brunei Darussalam, Patani Thailand, dan Malaysia. Di negeri Jiran, khususnya di Kota Kinabalu, puisi esai bahkan menemukan momentum yang luar biasa. Puisi esai menjadi trending dan viral di Malaysia melalui Kinabalu.
Berkat perannya yang memacu perkembangan puisi esai, Kota Kinabalu pun mendapat penghargaan sebagai Ibu Kota Puisi Esai pada tahun 2024. Penghargaan ini diberikan oleh Komunitas Puisi Esai dan diserahkan oleh penggagasnya, Denny JA, kepada Wali Kota Bandaraya Kota Kinabalu, Dr. Benedict Oliver Lidadun, dalam acara Festival Puisi Esai Jakarta ke-2 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Desember 2025. Festival ini dihadiri para penyair, penulis, dan akademisi dari berbagai negara di Asia Tenggara.
Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas
Dalam sambutannya di festival, Presiden Badan Bahasa dan Sastera Sabah (BAHASA), Dr. Jasni Matlani, mengakui bahwa puisi esai berhasil membangkitkan kembali Sastra Melayu di Malaysia. Dan kebangkitan itu episentrumnya adalah Kinabalu.
Memang Denny bukan Sir Winston Churchill yang pidato-pidatonya menggerakkan perlawanan terhadap Hitler di Eropa. Denny juga bukan Bob Dylan yang meraih Nobel berkat tembang puitisnya yang peduli cinta, derita manusia, dan keadilan. Tapi hal serupa dilakulan Denny. Melalui "Atas Nama Cinta" Denny berhasil mengungkap sisi gelap perilaku "rejim politik dan rejim agama" di Indonesia yang "memperkosa wanita tak berdosa, meneror Ahmadiyah, membunuh hak hidup kaum gay, dan destruksi kemanusiaan.
Betul. Apa yang dilakukan Denny melalui puisi esainya mungkin tidak segempita pidato Churchill dan sepopuler tembang Dylan. Namun apa yang dilakukan Denny intinya serupa seperti yang dilakukan Churchill dan Dylan. Berjuang melalui "sastra" untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan 2000 Janda Pun Menerjang
Denny telah melangkah jauh ke sana, dengan diiringi pujian dan makian. Dan Danny terus melangkah, tak pernah berhenti. Seperti peribahasa -- anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Dari perspektif inilah, Denny mungkin pantas menerima Nobel Sastra seperti halnya Churchill dan Dylan. Pinjam istilah Dr. Satrio Arismunandar, penulis dan wartawan senior, Denny pantas mendapat hadiah Nobel karena memang pantas menerimanya. Tidak mengada-ada.
Semoga hadiah Nobel menghampiri Indonesia dan berlabuh di pelukan Denny JA di masa datang. Mudah-mudahan!
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tak Pernah Dikirim RA Kartini
*Syaefudin Simon adalah kolumnis/wartawan senior. ***