DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kinabalu dan Nobel Sastra untuk Denny JA

image
Denny JA (Foto: Satrio)

Fenomena semacam itu hanya bisa muncul dari orang yang sedang jatuh cinta terhadap sesuatu. Denny jatuh cinta pada puisi. Di kemudian hari, Denny menjadi kolumnis besar niscaya karena berangkat dari hobi membaca dan menulis puisi tadi. 

Denny rupanya mirip intelektual cum ekonom, M.Dawam Rahardjo (MDR, 1942-2018). Selama masa hidupnya, MDR lebih dikenal sebagai pakar ekonomi. Esai dan kolom MDR mayoritas masalah ekonomi. Padahal, Dawam sejak remaja adalah pecinta cerpen dan puisi. 

Sastrawan Umar Kayam (1932-2002) dari UGM Yogyakarta mengakui kalau Dawam yang rajin menulis esai ekonomi itu, awalnya adalah penulis cerpen dan puisi. Dalam sebuah diskusi sastra di Tanam Ismail Marzuki, Jakarta, misalmya, Kayam pernah meminta Dawam jadi pembicara sebagai sastrawan. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas

Melihat fenomena Denny dan Dawam, pertanyaan pun muncul -- apakah seorang kolumnis atau esais juga seorang sastrawan? Sudibyo, pengamat dan guru sastra Indonesia memberikan contoh sosiolog Arief Budiman, yang menurutnya, adalah sastrawan besar Indonesia -- meski ia bukan novelis atau penyair. 

Why? Tulis Sudibyo dalam artikel "Bila Palgunadi Belajar kepada Guru Dorna"  di buku bunga rampai  "Idealisme dan Kearifan Arief Budimam"  -- karena Arief adalah esais. Bagiku esais adalah sastrawan. Sama halnya dengan kritikus, ia pun sastrawan, ungkap Sudibyo. 

Sebagai esais, Arief adalah penggagas dan pemikir. Produk esais adalah karya pemikiran. Ukuran kualitas esais adalah kecemerlangan pemikirannya. Sedangkan kualitas kritikus diukur dari ketajaman pengamatannya. Dalam hal ini, dunia sastra sudah mengakui bahwa kritikus adalah sastrawan. Sedangkan esais? No? 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan 2000 Janda Pun Menerjang

Contoh kritikus sastra adalah H.B. Jassin. la banyak melahirkan karya "pengamatan dan kritikan" tentang fenomena sastra Indonesia. Berkat karya kritik itu nama H.B. Jassin sangat terkenal di dunia sastra. Bahkan Jassin mendapat julukan magnifisen: "Paus Sastra". Ini artinya, dunia sastra sudah bersepakat bahwa pengamat sastra -- meski tak menghasilkan karya sastra besar -- adalah sastrawan.

Lalu, bagaimana nasib esais seperti Arief? Adakah komunitas empu sepakat menganggap Arief sebagai sastrawan? 

Di dunia pendidikan, nyaris tak ada buku yang menyebutkan Arief sebagai sastrawan. Padahal, ia pernah mengulas seorang penyair besar Chairil Anwar dalam sebuah buku berjudul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (CASP).

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tak Pernah Dikirim RA Kartini

Buku CASP adalah adaptasi dari skripsi Arief Budiman di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Dalam buku itu. Arief tak hanya membahas "Sang Binatang Jalang" dari aspek sastra, tapi juga filsafat. Barangkali di dunia kampus, hanya Arief Budiman satu-satunya mahasiswa psikologi yang skripsinya lebih berbau sastrawi dan filosofi ketimbang psikologi.

Halaman:

Berita Terkait