DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kinabalu dan Nobel Sastra untuk Denny JA

image
Denny JA (Foto: Satrio)

Arief juga melahirkan beberapa gagasan cemerlang tentang seni dan kesusasteraan Indonesia. Meminjam istilah sastrawan Goenawan Mohamad -- pendiri Majalah Tempo -- Arief Budiman adalah salah seorang tokoh yang membesarkan dunia sastra.

Peran Arief dalam dunia sastra mungkin mirip dengan Sir Winston Churchill. Jenderal perang Inggris ini mendapat hadiah Nobel Sastra, 1953, meski Churchill nyaris tak dikenal dalam hiruk pikuk dunia kesusasteraan. Bahkan di Inggris sekalipun. Betul, Churchill pernah menulis novel. Tapi novelnya tidak masuk dalam kriteria sastra yang istimewa. Sehingga pantas mendapatkan anugerah Nobel Sastra yang prestisius.

Panitia Nobel di Swedia memberikan hadiah Nobel Sastra kepada Sir Winston Churchill lebih karena perannya dalam membesarkan sastra dari perspektif yang lain. Pidato-pidato Churchill, baik sebagai politisi maupun panglima militer Inggris dalam Perang Dunia Kedua, dianggap menginspirasi masyarakat internasional untuk melawan keserakahan Hitler. Dampaknya luar biasa. Dunia tidak menyerah kepada Nazisme Hitler yang berambisi menguasai seluruh bumi.

Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas

Tentu saja ada orang yang hebat di keduanya, baik sebagai kritikus maupun esais. Contohnya Ignas Kleden. Karya-karya kritiknya sangat tajam. Esai-esainya sangat kokoh. Tapi di mata pelajaran sastra Indonesia konvensional, nyaris tak ada yang menyebutkan Ignas Kleden sebagai sastrawan. 

Dari perspektif inilah, kita melihat Denny JA. Sebagai esais dan konsultan politik, harus kita akui Denny menulis karya sastra genre baru. Yaitu puisi esai. Kenapa puisi esai? 

Denny mengaku prihatin terhadap dunia puisi yang narasi-narasinya sering absurd, eksklusif, dan terlalu simbolik -- sulit dicerna orang awam. Akibatnya, dunia kepenyairan sangat eksklusif, hanya dihuni individu yang telah dinobatkan sebagai penyair oleh networknya. Ada tembok pemisah antara awam dan penyair. Denny ingin memecah tembok itu melalui puisi esai.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dan 2000 Janda Pun Menerjang

Denny memperkenalkan puisi esai ke publik melalui buku "Atas Nama Cinta" tahun 2012. Bentuknya gabungan puisi naratif dengan unsur esai, di mana cerita yang disampaikan didukung oleh catatan kaki. Footnote ini mengacu pada fakta, data, atau referensi lain. Dengan cara demikian, puisi esai mudah dipahami publik. Bahkan dunia akademik bisa menjadikan puisi esai sebagai referensi ilmu sejarah, budaya, dan kajian sosial politik.  

Sebagian sastrawan menilai, format puisi esai tidak berbeda jauh dari puisi naratif yang sudah ada sebelumnya. Beberapa sastrawan menganggap catatan kaki dalam puisi esai terlalu akademis dan mengurangi nilai estetika puisi. Puisi esai dianggap merusak puisi narasi. 

Tapi, dengan banyaknya kritik, bahkan ada demo membakar buku-buku puisi esai di TIM, justru dunia sastra seakan "bangkit kembali". Demo antiDenny tersebut, anehnya, alih-alih memadamkan popularitas puisi esai, yang terjadi malah sebaliknya. Puisi esai makin mencorong. 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tak Pernah Dikirim RA Kartini

Buku puisi esai karya Denny, Atas Nama Cinta, misalnya, akibat kritik sengak yang bertubi-tubi di Indonesia, kini makin populer. Di luar negeri, buku ini mendapat apresiasi positif. Dan laris. Setelah Atas Nama Cinta populer, puisi esai mulai banyak ditulis oleh sastrawan lain yang sebelumnya antiDenny. 

Halaman:

Berita Terkait