DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Sebuah Surat Terbuka 

ORBITINDONESIA.COM - Dalam rangka menumbuhkan semangat diskusi, pandangan terbuka, dan kepentingan publik yang harus menjadi kultur baru BUMN, saya menulis surat terbuka ini.

Itu kesan awal saya membaca Surat Keputusan Danantara No. S-063/DI-BP/VII/2025, tertanggal 30 Juli 2025, yang telah menjadi sorotan luas dalam pemberitaan nasional.

Baca Juga: Tentang Pemilu Curang, Efek Bansos, Sampai Hak Angket, Inilah Analisis Denny JA

Isinya tegas dan mengejutkan. Pembayaran tantiem dan insentif dalam bentuk apa pun untuk Dewan Komisaris BUMN dan anak usaha dinyatakan tidak diperkenankan mulai tahun buku 2025.

Sementara itu, insentif tetap terbuka bagi direksi—dengan syarat berbasis kinerja operasional yang tercermin dalam laporan keuangan yang sahih.

Pada satu sisi, niat Danantara patut dihargai. Ia datang dari semangat efisiensi dan profesionalisme, dengan mengacu pada prinsip-prinsip good corporate governance global.

Baca Juga: Hilangnya Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden Menurut Analisis Denny JA

Namun pada sisi lain, keputusan ini mengabaikan konteks struktur korporasi BUMN Indonesia, yang secara hukum dan praktik masih menganut sistem Two Tier Board.

Ini seperti rumah tangga yang memaksakan model arsitektur asing tanpa melihat bentuk tanah dan adat lokal.

-000-

Baca Juga: Inilah Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo Subianto Menurut Analisis Denny JA

Evaluasi Pandangan Resmi Danantara

Dalam berita CNBC Indonesia (1 Agustus 2025), CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, menjelaskan bahwa larangan tantiem bagi komisaris bertujuan menyelaraskan kompensasi dengan praktik terbaik dunia. Ia merujuk pada prinsip OECD dan menyatakan bahwa:

“Komisaris seharusnya hanya menerima pendapatan tetap, bukan variabel berbasis laba”, demi menjaga independensi pengawasan.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Pernyataan ini secara prinsip benar dalam konteks negara-negara yang menganut sistem One Tier Board, seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Dalam model itu, non-executive directors sering kali hadir hanya sebagai pelengkap struktur, tanpa terlibat aktif dalam dinamika strategis.

Maka, pemberian tantiem kepada mereka memang dianggap menimbulkan konflik kepentingan.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Begitu pula, OECD Guidelines on Corporate Governance of SOEs (2015) menganjurkan agar pengawasan dijalankan dengan pendapatan tetap guna menjaga independensi.

Namun, kebenaran ini tidak serta-merta valid bila diterapkan ke konteks Indonesia, yang secara yuridis dan kelembagaan menganut sistem Two Tier Board. Dan inilah akar perbedaan penting itu.

-000-

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

One Tier vs Two Tier: Dua Dunia yang Tak Sama

Untuk memahami kekeliruan dalam kebijakan ini, kita perlu membedah dua sistem arsitektur korporasi:

• One Tier Board, lazim di Amerika dan Inggris, menyatukan fungsi eksekutif dan pengawasan dalam satu dewan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Mesin Mengebor Lebih Dalam, Melampaui Nurani

Kompensasi berbasis laba diberikan hanya kepada executive directors. Non-executive directors umumnya menerima honorarium tetap.

• Two Tier Board, seperti yang diterapkan di Jerman, Belanda, dan secara formal di BUMN Indonesia, memisahkan secara struktural peran:

• Direksi (eksekutif) yang menjalankan operasional perusahaan,

Baca Juga: Catatan Denny JA: Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban, Politik Energi Abad 21

• Dan Dewan Komisaris (pengawas) yang bertugas mengawasi, memberi nasihat strategis, serta memastikan integritas tata kelola.

Dalam praktiknya, komisaris BUMN di Indonesia tidak pasif. Mereka:

• terlibat dalam komite audit, risiko, dan investasi,

Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia dan Jalan Emas Abad 21

• ikut menentukan arah transformasi digital, ESG, dan pengendalian internal,

• serta memikul risiko hukum dan reputasi, sama seperti direksi.

Menyamakan peran ini dengan non-executive directors pasif adalah penyederhanaan yang menyesatkan, dan berpotensi merusak keseimbangan checks and balances di tubuh BUMN.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak, Bisnis, dan Politik di Era Artificial Intelligence

-000-

Lima Alasan: Mengapa Kebijakan Ini Melemahkan BUMN

1. Merendahkan Fungsi Pengawasan

Baca Juga: Catatan Denny JA: Awal Kemajuan China dan Revolusi Damai Deng Xiaoping

Ini seperti meminta matahari menyinari bumi, tapi menutup seluruh jendelanya.

Komisaris tetap bekerja, tetap diminta hadir dalam badai, tapi kini tanpa penghargaan yang setimpal.

2. Memicu Seleksi Negatif

Baca Juga: Catatan Denny JA: Make Pertamina Great Again

Tanpa insentif profesional, jabatan komisaris hanya akan menarik dua jenis orang: yang tak lagi dibutuhkan sektor lain, atau yang datang hanya demi jabatan tanpa kontribusi.

3. Perlawanan Pasif yang Sunyi Tapi Mematikan

Komisaris mungkin tidak berdemonstrasi. Tapi mereka bisa memilih diam, tak bertanya, tak menyela, tak mengoreksi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tiga Dekade yang Mengubah Segalanya

Dan dalam sistem pengawasan, diam bisa lebih mematikan dari kritik terbuka.

4. Diskriminasi Struktural

Direksi diberi kompensasi berbasis kinerja. Komisaris tidak.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengejar Mission Impossible Kemandirian Energi Indonesia

Padahal mereka sama-sama bisa dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan institusi di mata hukum maupun publik.

5. Rusaknya Kontrak Psikologis

Organisasi dibangun atas kepercayaan: bahwa kerja keras akan dihargai. Saat kepercayaan itu dicederai, maka loyalitas pun perlahan memudar.

Dan loyalitas yang hilang tak bisa ditebus dengan regulasi.

-000-

Kritik terhadap Generalisasi dan Misinterpretasi OECD

• OECD tidak pernah menyarankan bahwa seluruh pengawas di semua sistem tidak boleh diberi insentif berbasis kinerja.

Yang disarankan adalah menjaga independensi dan transparansi kompensasi—bukan melarang penghargaan atas kontribusi riil.

• Dalam praktik internasional:

• Jerman tetap memberi bonus bagi komisaris yang berkontribusi dalam strategi transformasi perusahaan.

• Prancis dan Belanda memberlakukan kompensasi campuran (tetap dan variabel).

• Bahkan di Norwegia dan Finlandia, dua negara dengan reputasi tata kelola publik tinggi, tetap diberikan bentuk penghargaan terhadap kerja pengawasan yang substansial.

Dunia pun tak seragam. Maka mengapa Indonesia harus menyeragamkan diri secara keliru?

-000-

Rekomendasi Reflektif

1. Evaluasi ulang pendekatan “one-size-fits-all”. Libatkan akademisi, praktisi, dan pakar hukum tata kelola untuk menyusun solusi yang lebih kontekstual.

2. Gunakan pendekatan hybrid:

•  insentif pengawasan berbasis KPI kelembagaan (bukan laba),

•  sistem evaluasi independen untuk Dewan Komisaris,

• publikasi transparan struktur kompensasi kepada publik.

3. Libatkan KPK, Satgas BUMN Bersih, dan masyarakat sipil dalam mendesain ulang sistem insentif yang adil, kontekstual, dan menjunjung kepercayaan publik.

-000-

“Keadilan bukanlah memberi yang sama, tetapi memberi sesuai beban dan peran.”

Jika reformasi ini tak membedakan antara pengawas pasif dan pengawas aktif, maka ia kehilangan keadilannya, kehilangan kejujurannya, dan kehilangan efektivitasnya.

Pengawas yang tak dihargai cenderung abai pada risiko strategis. Sistem Two Tier memerlukan keseimbangan - menghargai kinerja pengawasan bukanlah pelanggaran etika, melainkan bentuk keadilan struktural.

BUMN adalah tubuh raksasa yang menjaga aset publik. Direksi adalah kaki, yang bergerak cepat.

Tapi komisaris adalah mata dan telinga. Jika mata dibuat kabur dan telinga dimatikan, kita sedang membiarkan raksasa itu berlari dalam gelap.

Bulan memang purnama,

tapi jika tak ada yang menatap,

siapa yang tahu ia menerangi malam?

Komisaris adalah mata yang menatap. Jangan padamkan sinarnya.***

Referensi

1.    Surat Edaran Danantara No. S-063/DI-BP/VII/2025, tertanggal 30 Juli 2025.

2.    CNBC Indonesia, “Danantara Larang Komisaris BUMN Dapat Tantiem,” 1 Agustus 2025.

cnbcindonesia.com

3.    Bob Tricker, Corporate Governance: Principles, Policies, and Practices, 3rd Edition, Oxford University Press, 2015.

Literatur acuan utama global untuk memahami sistem One Tier dan Two Tier Board dalam tata kelola perusahaan.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1AmyC2aJ6N/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait