DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Melampaui Pisau, Meraba Makna

Melalui esai, “Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?”, saya mengajak membuka kembali lembaran tafsir lama dengan mata yang lebih basah, lebih peka.

Saya tidak membawa palu untuk menghancurkan tradisi. Saya membawa lentera—untuk menyingkap ruang batin yang selama ini terlindung oleh kebiasaan.

Saya menyampaikan bahwa penyembelihan massal hewan sebagai bentuk utama kurban tak harus menjadi satu-satunya cara menunjukkan ketakwaan. Ada tiga pendekatan besar:

1. Mainstream konservatif (seperti MUI), yang melihat kurban hewan sebagai satu-satunya bentuk sah.

2. Pendekatan kompromis (seperti Muhammadiyah), yang membuka ruang tak harus sembelih hewan dalam kondisi tertentu, seperti di era Covid-19.

3. Esensialis kontekstual (seperti Shahid Ali Muttaqi), yang menekankan bahwa inti kurban adalah ketakwaan dan solidaritas, bukan darah yang mengalir.

Saya menekankan tafsir ketiga. Di era ketika kesadaran ekologis dan hak asasi hewan makin kuat, tafsir agama pun perlu disegarkan.

Manusia tentu tetap makan hewan. Tapi tak lagi menjadikan sembelih massal hewan sebagai ritus agama.

Sebab spiritualitas tidak hidup dalam bekuan sejarah. Ia tumbuh bersama nurani manusia yang bergerak maju.

Halaman:

Berita Terkait