
Oleh KH Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Gus Dur pernah melontarkan humor menarik. Katanya, hanya ada tiga polisi yang jujur. Yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Pak Hoegeng.
Jenderal Hoegeng Iman Santoso (1921-2004) adalah Kapolri 1968-1971. Beliau tak mau bersentuhan dengan korupsi. Sampai akhir hayatnya Pak Hoegeng tidak punya mobil. Beliau hidup sederhana hanya dari uang pensiunnya. Pak Hoegeng adalah legenda polisi berintegritas dan antikorupsi.
Baca Juga: Kapolda Lampung Menerima Hoegeng Awards 2022 Kategori Polisi Berintegritas
Bagaimana polisi masa kini? Di mata publik, perlu diakui, polisi identik dengan korupsi. Awal tahun 2025, misalnya, pernah viral lagu "Bayar-Bayar" dari band Sukatani, Jawa Tengah. Lagu Bayar Bayar viral di sosmed dan bikin gempar di Indonesia. Polisi pun menjadi sasaran caci maki netizens.
Sebetulnya aktor korupsi ada di mana-mana. Tapi yang paling jadi sorotan rakyat adalah kepolisian. Mungkin karena polisi ada di tengah rakyat sehingga gerak geriknya mudah terlihat. Hampir tiap hari di sosmed ada berita atau cerita tentang korupsi polisi. Dari mulai yang seram -- korupsi yang disertai pembunuhan kejam hingga korupsi salam tempel dengan wajah tersenyum.
Banyak orang berpikir, untuk memberantas korupsi di suatu negara, yang pertama harus dibenahi adalah kepolisian. Salah seorang pemimpin negara yang mempercayai pendapat tersebut adalah Mikheil Saakashvili -- Presiden Georgia (2004-2013), negara bekas pecahan Uni Soviet.
Baca Juga: Arief Gunawan: Jenderal Hoegeng Polisi Teladan, Kenapa Belum Diangkat Jadi Pahlawan Nasional
Saakashvili bersumpah untuk "perang melawan korupsi" di tahun pertamanya menjabat Presiden Georgia. Langkah strategisnya, ia mengubah dan mereformasi total kepolisian. Caranya ekstrim: memecat semua polisi lalu lintas di negaranya. Lalu memangkas 30.000 polisi itu dari daftar gaji.
Kok polisi lalu lintas? Ya, polisi lalu lintas adalah cermin paling tepat untuk melihat tingkat keparahan korupsi di suatu negara. Seperti peribahasa Jepang, kalau ingin melihat kebaikan suatu negara, lihatlah lalu lintasnya. Sebaliknya kalau ingin melihat kebobrokan negara, lihatlah lalu lintasnya. Keduanya bertumpu pada kebaikan dan kebobrokan polisi lalu lintas.
Saat menjadi presiden, Saakashvili menyadari Georgia adalah negara yang tingkat korupsinya luar biasa. Hampir semua link birokrasi dan aturan hukum digerogoti korupsi. Saakashvili segera menetapkan prioritas -- lembaga mana yang harus "dibersihkan" dari korupsi? Jawabnya kepolisian.
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Hijrah dan HAM
Yang menarik, tindakan antikorupsi dari Saakashvili adalah memecat 30.000 personil polisi. Ini sama dengan 85 persen total polisi yang ada di negeri berpenduduk 3,7 juta jiwa itu. Ternyata "triger" Saakashvili yang memecat polisi tersebut berhasil.
Presiden Saakashvili merestrukturisasi kementerian dan lembaga kepolisian yang ada. Lalu mengatur kembali standar operasi kerja (SOP) polisi untuk meredam cercaan rakyat yang saat itu tidak percaya kepada polisi.
Perombakan mendasar dunia kepolisian seperti Georgia di atas, dulu pernah dilontarkan Prof. Yusril Ihza Mahendra, Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Yusril tidak percaya, dunia kepolisian Indonesia bisa dibersihkan dari korupsi hanya dengan menerapkan SOP baru yang antikorupsi tanpa mengganti personel-personelnya. Bila perlu, kata Yusril, aparat hukum Indonesia itu diimpor dari negara lain yang jujur dan bersih. Seperti dari Belanda dan Swiss.
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Berwajah Imut tapi Teroris
“Kami merekrut orang-orang baru, dan kami membutuhkan dua hingga tiga bulan untuk menemukan orang baik dan memberi mereka pelatihan awal di akademi kepolisian,” papar Saakashvili.
Hasilnya, korupsi pun jauh berkurang. Masyarakat yang sebelumnya takut kepada polisi dan aparat hukum, mulai berani speak up. Jika sebelumnya speak up tentang korupsi diancam polisi, setelah restrukturisasi tersebut, rakyat menjadi mitra polisi. Polisi dan rakyat cancut taliwanda membersihkan korupsi. Luar biasa. Indonesia tampaknya perlu meniru Georgia.
Konteks Masalah
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Polisi Memburu "Escobar Indonesia"
Sebelum reformasi, korupsi di kepolisian Georgia, terutama polisi lalu lintas, sangat parah. Praktik pungli dan suap terjadi secara terbuka dan meluas, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi penegak hukum.
Langkah Radikal:
1. Pemecatan Massal. Seluruh anggota polisi lalu lintas dipecat dalam satu hari. Ini dilakukan karena dianggap mustahil mereformasi sistem yang sudah begitu rusak dari dalam.
2. Rekrutmen Baru. Saakashvili membentuk satuan polisi baru dengan merekrut personel muda, terdidik, dan bersih dari catatan korupsi. Gaji dinaikkan secara signifikan untuk mengurangi niat menerima suap.
3. Teknologi dan Transparansi. Kamera pengawas dan sistem elektronik digunakan untuk memantau kinerja polisi. Pelayanan publik pun disederhanakan dan diproses secara transparan.
4. Pendidikan dan Budaya Integritas. Anggota kepolisian baru diberikan pelatihan etika dan profesionalisme.Pemerintah juga melakukan kampanye publik untuk membangun budaya antikorupsi.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Untung Ada Prabowo!
Hasilnya, kepercayaan publik terhadap kepolisian meningkat drastis. Korupsi di sektor pelayanan publik dan kepolisian menurun secara signifikan. Georgia mendapat pengakuan internasional sebagai negara yang berhasil melakukan reformasi antikorupsi drastis dan radikal dalam waktu singkat.
Lalu cukupkah mereformasi dan merestruktutisasi lembaga kepolisian untuk memberantas korupsi di Indonesia? Tampaknya, belum cukup. Karena korupsi di Indonesia sudah mendarah daging.
Lalu bagaimana solusinya? Selain meniru Mikheil Saakashvili dari Georgia, Indonesia tampaknya harus meniru Tiongkok. Di negeri ini, koruptor yang tertangkap, hukumannya besar sekali, sampai hukuman mati.
Baca Juga: Kejagung Tetapkan Tiga Tersangka Kasus Perintangan Penanganan Perkara Korupsi Tata Niaga Timah
Zhu Rongji, perdana menteri Tiongkok (1998-2003), menyatakan: "Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi."
Apa yang dikatakan oleh Zhu mengenai 100 peti mati tersebut, ditindaklanjuti. Bukan sekadar omon-omon.
Cheng Kejie, seorang pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok, teman dekat Zhu Rongji, dihukum mati akibat terlibat suap sebesar 5 juta dolar USD yang terjadi tahun 2000. Ya!
Hanya 5 juta dolar. Sangat kecil dibandingkan korupsi di Pertamina yang mencapai milyaran dolar. Di samping Cheng Kejie, Zhu juga mengirim “peti mati” kepada koleganya Hu Chang-ging yang terbukti menerima suap berupa mobil beserta permata bernilai sekitar Rp 3,5 juta dolar.
Hebatnya, eksekusi mati terhadap Hu Chang-ging hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung China di Beijing. Beijing juga menghukum mari 11 orang pejabat Tiongkok yang terbukti berkonspirasi melakukan penyelundupan.
Zhu Rongji memang benar-benar konsisten dengan ucapan dan tindakannya dalam memberantas korupsi. Di era Zhu nyaris tidak ada satu pun pejabat -- setinggi apapun pangkatnya -- yang lolos dari jeratan hukum bila korupsi.
Baca Juga: KPK Bahas Peningkatan Kerja Sama Saat Terima Kunjungan Lembaga Antikorupsi ICAC Hong Kong
Hingga saat ini, menurut PBB dan Human Right Watch, Tiongkok diduga telah menghukum mati puluhan ribu koruptor. Tuduhan tersebut tak digubris Beijing. Karena hukuman mati adalah rahasia negara di sana.
Zhu tidak omon-omon dengan ancaman hukuman mati terhadap koruptor. Zhu paham betul akan pepatah kuno Tiongkok yang mengatakan: “bunuhlah seekor macan untuk menakuti seribu ekor kera”.
Bagaimana Indonesia?
*Dr. KH Amidhan Shaberah adalah Komisioner Komnas HAM 2002-2007/Lembaga Kajian MPR RI 2019-2024. ***