Dr KH Amidhan Shaberah: Hijrah dan HAM
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 21 Juli 2023 00:53 WIB
Dr. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUl (1995-2015)/Komnas HAM (2002-2007)
ORBITINDONESIA.COM - Hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah bukan sekadar strategi Nabi Muhammad untuk mengecoh kaum kafir Quraisy yang hendak menghancurkan kaum muslimin yang masih lemah, tapi hijrah bisa dimaknai lebih luas.
Yaitu: siasat Rasul untuk membentuk suatu organisasi kemanusiaan di Madinah. Organisasi kemanusiaan di Madinah merupakan conditio sine quanon bagi terbentuknya -- pinjam istilah Dr. Abdul Aziz, MA, kini Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia -- Chiefdom Madinah.
Chiefdom Madinah, menurut Abdul Aziz, adalah benih dari suatu susunan negara modern yang berbasis kesetaraan umat manusia. Kesetaraan umat manusia tersebut merupakan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM).
Baca Juga: Profil Lengkap Cinta Mega, Anggota DPRD DKI Jakarta yang Diduga Main Game Ternyata dari Fraksi PDIP
Tidak seperti di Mekah yang saat itu masyarakatnya masih tribalis -- di Madinah, Nabi Muhammad justru mendapat sambutan sebagai pemimpin humanis.
Masyarakat Madinah sudah lama mengetahui jejak langkah Muhammad setelah mendeklarasikan diri menjadi Rasulullah dan mendapat wahyu dari Allah.
Orang-orang Madinah yang dikenal lebih maju, terbuka, dan beradab ketimbang orang Mekah, justru mengharap kedatangan Rasul ke wilayahnya. Mendengar Muhammad mendapat tekanan dan ancaman dari para petinggi Mekah, para pemimpin di Madinah justru sebaliknya.
Mereka berharap Muhammad datang ke Madinah. Dan para petinggi Madinah akan menyambutnya. Bahkan mereka akan menjadikan Muhammad sebagai pemimpin penduduk Madinah.
Perlu diketahui penduduk Madinah atau Yatsrib yang menyambut kedatangan Rasul bukan hanya yang beragama Islam. Tapi juga yang beragama Yahudi, Kristen, dan agama lokal.
Saking hormatnya kepada Muhammad, setelah kedatangan Rasul, nama Yatsrib pun diubah menjadi Madinah. Tujuannya jelas, agar citra daerah Yatsrib lebih humanis dan beradab, sesuai pribadi Rasulullah.
Muhammad dikenal sebagai pribadi pemersatu dan humanis. Di usia muda sebelum mendapat wahyu, Muhammad pernah berhasil mendamaikan suku-suku Quraisy yang berseteru dalam hal meletakkan hajar aswad di Ka'bah.
Saat itu bangunan Ka'bah sedang direnovasi. Dan hajar aswad harus diletakkan pada posisi aslinya. Lalu siapa yang berhak meletakkan hajar aswad pada posisi semula? Hal inilah yang memicu perseteruan. Soalnya orang yang terpilih menjadi peletak hajar aswad di Ka'bah dianggap jadi orang mulia dan terhormat.
Hampir saja terjadi peperangan karena masing-masing pemimpin suku ingin menjadi peletak hajar aswad di Ka'bah. Ini penting agar sukunya dipandang mulia dan terhormat.
Kemudian datanglah Muhammad mendamaikan perselisihan tadi. Caranya Muhammad membentangkan sorbannya. Semua pimpinan suku diminta Muhammad untuk memegang tepi sorban beliau.
Lalu Muhammad muda mengambil hajar aswad dan diletakkan persis di tengah-tengah bentangan kain sorban tadi. Setelah itu, hajar aswad diletakkan di Ka'bah dengan menggunakan kain tersebut beramai-ramai.
Semua pemimpin suku berkontribusi meletakkan hajar aswad di Ka'bah dengan mengangkat sorban Nabi tersebut. Dan sukses. Perseteruan pun berakhir damai.
Sejak itu, orang-orang Mekah memberi julukan Muhammad dengan sebutan Al-Amin, yaitu orang yang dapat dipercaya. Muhammad muda menjadi orang terhormat dan mulia karena bisa mendamaikan perseteruan tersebut.
Tapi setelah Muhammad mendeklarasikan diri sebagai Rasulullah dan mengaku mendapat wahyu dari Allah, perselisihan pun kembali mencuat. Ada orang Quraisy yang percaya, ada yang menolaknya.
Saat Nabi Hijrah, sebagian besar pemimpin Arab -- termasuk suku Quraisy, menolak kerasulan Muhammad. Di antaranya Abu Sufyan bin Harb dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal) yang saat itu menjadi pembesar Quraisy yang sangat berpengaruh di kota Mekah.
Dalam situasi tidak kondusif seperti itulah, Nabi memutuskan hijrah ke kota Madinah.
Kembali ke "Chiefdom" Madinah. Meskipun administrasi Chiefdom -- pinjam catatan disertasi Dr. Abdul Aziz -- masih bertumpu pada sosok Muhammad -- tapi pembagian kerja secara profesional dan meritokratis sudah mulai diterapkan.
Bahkan dalam memutuskan perkara di Chiefdom Madinah, Nabi Muhammad menerapkan konsep musyawarah seperti tercantum dalam Qur'an (As-Syura 38). Dalam musyawarah, suatu keputusan diambil berdasarkan kata mufakat dari beberapa orang.
Orang-orang beriman, berdasarkan surat As-Syura 38, dalam memutuskan urusan mereka, harus dengan musyawarah. Atau berunding di antara mereka. Konsep musyawarah, menurut Prof. Munawir Sjadzali adalah cikal bakal demokrasi modern.
Dari perspektif inilah, Hijrah Nabi Muhammad ke tanah peradaban Madinah berhasil menumbuhkan benih-benih demokrasi. Dan demokrasi adalah lahan subur untuk pertumbuhan HAM.
Hal ini, misalnya, terlihat dari narasi pada Piagam Madinah (Shahiful Madinah). Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah.
Piagam Madinah yang diteken Nabi Muhammad bersama pemimpin suku-suku dan kaum-kaum penting di Madinah tahun 622 M tersebut berhasil menghentikan pertikaian antarsuku dan antarkaum sehingga tercipta perdamaian dan persatuan.
Kata umat, misalnya, dalam Piagam Madinah adalah sebutan untuk semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Madinah.
Menurut Robert N Bellah, Guru Besar Sosiologi California University, AS, Piagam Madinah sangat maju pada zamannya, jauh melampaui konsep perjanjian tribal dan tradisional yang ada di jazirah Arab.
Menurut Bellah, Piagam Madinah telah menginspirasi Dunia Barat untuk membangun demokrasi dan HAM. Konsep kesetaraan, pluralisme, dan humanisme, tulis Bellah, telah tercatat dalam 47 pasal di Piagam Madinah.
Barangkali, inilah capaian terbesar "Hijrah Nabi" dari perspektif peradaban modern. Sayangnya, setelah Nabi Muhammad wafat, orang-orang Islam di jazirah Arab melupakan ajaran penting dari Piagam Madinah tersebut.
Akibatnya, Islam yang cinta perdamaian, persatuan, dan kemanusiaan, kering dalam kehidupan bangsa Arab. Hingga saat ini. Memprihatinkan!***