DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Mengukur Samudra Emosi Manusia

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Hendra akhirnya dipromosikan — bukan karena ia semakin cepat menghitung, melainkan karena hatinya bertumbuh menjadi pelabuhan yang tenang bagi orang lain. 

Di malam syahdu di Bali, menghadap laut yang luas dan tak bertepi, Hendra menulis dalam jurnalnya:

“Kesuksesan bukan tentang berlari lebih cepat dari yang lain. Ia adalah tentang pulang ke rumah batin sendiri, dan memeluknya dengan utuh.”

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik

-000-

Kini, dunia dihuni oleh mesin-mesin yang mampu berpikir lebih cepat dari manusia, dan algoritma yang mencuri perhatian serta emosi kita. Dalam dunia seperti itu, kecerdasan emosional menjadi benteng terakhir kemanusiaan.

IQ mungkin membawa manusia ke Mars, membangun jembatan di atas samudera, dan menciptakan dunia virtual tanpa batas. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Perlu Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Besar Agama Lain?

Namun EQ — cinta, belas kasih, pengertian — lah yang akan menjaga bumi tetap bernyawa.

Setiap kali kita memilih memahami daripada menghakimi, merangkul daripada menolak, dan mendengarkan suara hati orang lain dengan sungguh-sungguh, kita sedang menyalakan lilin kecil di tengah kegelapan.

Dan mungkin, pada akhirnya, bukan pencapaian megah manusia yang menyelamatkan dunia. Tetapi lilin-lilin kecil itu, emosi yang rapuh, sederhana, dan bercahaya lembut.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengetahui dan Memberi Arah Diri Sendiri di Era Artificial Intelligence

Ia yang menjaga dunia tetap manusiawi.***

Halaman:

Berita Terkait