Catatan Denny JA: Mengukur Samudra Emosi Manusia
- Penulis : Arseto
- Selasa, 29 April 2025 06:45 WIB

Mereka menuntut tiga hal: tes ini harus benar-benar mengukur kecerdasan emosional, bukan sekadar suasana hati belaka.
Ia juga harus mencerminkan kehidupan nyata, bukan eksperimen laboratorium kering. Ia harus pula memiliki norma umum untuk menilai manusia dari berbagai latar belakang.
Seiring berjalannya waktu, lahirlah berbagai tes lain seperti EQ-i dari Reuven Bar-On, yang memperkaya pendekatan ini. Ia menyulam jaringan pemahaman baru tentang dunia emosi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
Dalam keheningan laboratorium, para pionir ini berusaha seperti pelukis yang mencoba membingkai pelangi dalam kanvas kecil: menghadirkan bentuk pada sesuatu yang tak berbentuk.
-000-
Abad ke-21 membuka peta tersembunyi otak manusia melalui kilatan MRI. Antonio Damasio dalam Descartes’ Error memperlihatkan kenyataan pahit: tanpa emosi, manusia tak mampu mengambil keputusan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Perlu Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Besar Agama Lain?
Mereka yang kehilangan fungsi emosinya bahkan terjebak sulit bertindak dalam pilihan sederhana, seperti sarapan apa hari ini.
Di saat bersamaan, Martin Seligman memimpin gerakan Positive Psychology. Ia menunjukkan kebahagiaan bukan semata hasil dari prestasi logis.
Ia melainkan buah dari kesadaran diri, hubungan sosial yang bermakna, serta pengelolaan emosi yang sehat.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengetahui dan Memberi Arah Diri Sendiri di Era Artificial Intelligence
Dunia korporasi dan pemerintahan pun akhirnya bergerak. Google, Amazon, dan banyak negara maju mulai memasukkan asesmen EQ dalam proses seleksi, promosi, dan pengembangan sumber daya manusia.