Melawan Diskriminasi dengan Puisi: Kata Pengantar Denny JA untuk Kumpulan Puisi Anti Diskriminasi dan Pro Toleransi
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 03 Juni 2024 09:13 WIB
Agama dan kepercayaan yang ada dianggap sebagai warisan kultural milik kita bersama.
Warga negara Indonesia yang beragam kita akrabkan dengan merayakan secara sosial hari besar agama secara lintas iman.
Tak hanya hari besar agama Islam dan Kristen yang dirayakan dalam social gathering itu, tapi juga khong Hu Chu, Brahma Kumaris, Bahai, Ahmadiyah, dan lainnya.
Upaya diskriminasi, intoleransi, dan persekusi terhadap keyakinan agama yang masih ada di Indonesia kita lawan dengan mengembangkan kultur sebalikya.
Perbedaan agama atau tafsir itu justru dianggap biasa. Hari besarnya kita rayakan bersama secara lintas iman, dalam social gathering.
Dalam forum itu, saya dan Gaus acapkali membuat puisi khusus. Gaus harus membuat puisinya sendiri. Tulis Gaus, 30 puisi yang ia gubah karena ada kekosongan karya-karya puisi dalam tema hubungan antaragama atau dialog antariman.
“Akibatnya,” tulis Gaus, “puisi saya kadang sangat spesifik, misalnya tentang perusakan rumah ibadah seperti vihara, kelenteng, gereja, penyerbuan terhadap perkampungan jemaat Ahmadiyah, perayaan hari besar agama tertentu, dsb.”
Kita cuplik beberapa bait puisi Gaus di bawah ini
Saudaraku,
Sudah berapa lama kita tidak bertemu?
Seratus tahun, seribu tahun, atau lebih.
Ketika nenek moyangku memeluk satu keyakinan.
dan nenek moyangmu memeluk keyakinan yang lain.
kita sudah berpisah.
Berabad-abad lamanya kita hidup sendiri-sendiri.
Dibatasi oleh dinding yang tidak terlihat oleh mata.
tetapi ada.