Melawan Diskriminasi dengan Puisi: Kata Pengantar Denny JA untuk Kumpulan Puisi Anti Diskriminasi dan Pro Toleransi
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 03 Juni 2024 09:13 WIB
Ribuan pria, wanita, dan anak-anak dibantai. Banyak lainnya ditangkap dan disiksa hanya karena perbedaan identitas agama.
John Milton seorang penyair, penulis, dan pamfletis Inggris. Ia menyaksikan pembantaian itu. Dan ia bersikap dengan puisinya.
Bait puisi di awal tulisan ini, yang ditulis tahun 1655, oleh Milton (On the Late Massacre in Piedmont) adalah tanggapan atas pembantain Piedmont.
Soneta ini menggambarkan horor dan kengerian pembantaian. Puisi itu juga menyerukan keadilan dan pembalasan ilahi atas kekejaman tersebut.
Milton dikenal sebagai pendukung kuat kebebasan beragama dan politik. Ia menggunakan puisi untuk mengkritik penindasan agama dan menyerukan solidaritas di antara umat Protestan di seluruh Eropa.
Puisi John Milton ini dikenang sebagai salah satu puisi paling tua yang membahas diskriminasi dan meluasnya intoleransi untuk kasus konflik Protestan dan Katolik di Eropa.
-000-
Puisi John Milton inilah yang saya ingat ketika membaca berbagai puisi yang ditulis oleh Ahmad Gaus mengenai isu diskriminasi dan intoleransi.
Sebanyak 30 puisi Ahmad Gaus terhidang di buku ini. Sebagian ditulis dan dibacakan dalam Forum Esoterika, forum spiritualitas lintas agama.
Esoterika, yang saya dirikan bersama teman-teman lain, memulai tradisi merayakan hari besar agama dan keyakinan apapun yang hidup di Indonesia.