Melawan Diskriminasi dengan Puisi: Kata Pengantar Denny JA untuk Kumpulan Puisi Anti Diskriminasi dan Pro Toleransi
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 03 Juni 2024 09:13 WIB
ORBITINDONESIA.COM - “Balaslah, ya Tuhan, para santo yang dibantai, tulang mereka tergeletak, berserakan di pegunungan Alpen yang dingin.”
Itu cuplikan puisi "On the Late Massacre in Piedmont" karya John Milton. Ditulis di tahun 1655. Puisi itu mengangkat pembantaian orang-orang Waldensia yang Protestan di Piedmont oleh tentara Katolik.
Apa yang terjadi di masa itu? Pada era seputar tahun 1655, Eropa mengalami konflik berdarah antara Katolik dan Protestan.
Penyebab konflik berakar dari perbedaan doktrinal dan teologis yang mendalam. Reformasi Protestan abad ke-16 lahir melawan dominasi gereja Katolik. Reformasi dipelopori oleh tokoh seperti Martin Luther dan John Calvin.
Mereka menantang otoritas gereja Katolik dan mengkritik praktik agama seperti penjualan indulgensi. Itu sejenis ritus pengampunan atau pengurangan hukuman atas dosa.
Gereja Katolik menjual pengampunan itu. Orang bisa membayar uang untuk memperoleh pengampunan dosa. Kritik kepada praktik ini, terutama oleh Martin Luther dalam 95 tesisnya pada tahun 1517.
Ini memicu reformasi Protestan, yang mengakibatkan perpecahan besar dalam kekristenan Barat.Perbedaan ini menyimulasi ketegangan politik dan sosial. Banyak penguasa Eropa mengambil posisi tegas baik mendukung Katolik maupun Protestan.
Di Piedmont, Italia, ketegangan ini diperburuk oleh upaya otoritas Katolik. Mereka memaksakan komunitas Protestan Waldensian pindah agama ke Katolik. Tapi komunitas protestan di sana menolak.
Terjadilah pembantain Piedmont pada tahun 1655. Ini sebuah tindakan kekerasan yang mencerminkan kebencian agama dan konflik kekuasaan yang meluas di Eropa waktu itu.
Duke of Savoy, didorong oleh tekanan dari otoritas Katolik, memerintahkan pembersihan wilayah dari Protestan, yang berujung pembunuhan brutal ribuan orang Waldensian.
Ribuan pria, wanita, dan anak-anak dibantai. Banyak lainnya ditangkap dan disiksa hanya karena perbedaan identitas agama.
John Milton seorang penyair, penulis, dan pamfletis Inggris. Ia menyaksikan pembantaian itu. Dan ia bersikap dengan puisinya.
Bait puisi di awal tulisan ini, yang ditulis tahun 1655, oleh Milton (On the Late Massacre in Piedmont) adalah tanggapan atas pembantain Piedmont.
Soneta ini menggambarkan horor dan kengerian pembantaian. Puisi itu juga menyerukan keadilan dan pembalasan ilahi atas kekejaman tersebut.
Milton dikenal sebagai pendukung kuat kebebasan beragama dan politik. Ia menggunakan puisi untuk mengkritik penindasan agama dan menyerukan solidaritas di antara umat Protestan di seluruh Eropa.
Puisi John Milton ini dikenang sebagai salah satu puisi paling tua yang membahas diskriminasi dan meluasnya intoleransi untuk kasus konflik Protestan dan Katolik di Eropa.
-000-
Puisi John Milton inilah yang saya ingat ketika membaca berbagai puisi yang ditulis oleh Ahmad Gaus mengenai isu diskriminasi dan intoleransi.
Sebanyak 30 puisi Ahmad Gaus terhidang di buku ini. Sebagian ditulis dan dibacakan dalam Forum Esoterika, forum spiritualitas lintas agama.
Esoterika, yang saya dirikan bersama teman-teman lain, memulai tradisi merayakan hari besar agama dan keyakinan apapun yang hidup di Indonesia.
Agama dan kepercayaan yang ada dianggap sebagai warisan kultural milik kita bersama.
Warga negara Indonesia yang beragam kita akrabkan dengan merayakan secara sosial hari besar agama secara lintas iman.
Tak hanya hari besar agama Islam dan Kristen yang dirayakan dalam social gathering itu, tapi juga khong Hu Chu, Brahma Kumaris, Bahai, Ahmadiyah, dan lainnya.
Upaya diskriminasi, intoleransi, dan persekusi terhadap keyakinan agama yang masih ada di Indonesia kita lawan dengan mengembangkan kultur sebalikya.
Perbedaan agama atau tafsir itu justru dianggap biasa. Hari besarnya kita rayakan bersama secara lintas iman, dalam social gathering.
Dalam forum itu, saya dan Gaus acapkali membuat puisi khusus. Gaus harus membuat puisinya sendiri. Tulis Gaus, 30 puisi yang ia gubah karena ada kekosongan karya-karya puisi dalam tema hubungan antaragama atau dialog antariman.
“Akibatnya,” tulis Gaus, “puisi saya kadang sangat spesifik, misalnya tentang perusakan rumah ibadah seperti vihara, kelenteng, gereja, penyerbuan terhadap perkampungan jemaat Ahmadiyah, perayaan hari besar agama tertentu, dsb.”
Kita cuplik beberapa bait puisi Gaus di bawah ini
Saudaraku,
Sudah berapa lama kita tidak bertemu?
Seratus tahun, seribu tahun, atau lebih.
Ketika nenek moyangku memeluk satu keyakinan.
dan nenek moyangmu memeluk keyakinan yang lain.
kita sudah berpisah.
Berabad-abad lamanya kita hidup sendiri-sendiri.
Dibatasi oleh dinding yang tidak terlihat oleh mata.
tetapi ada.
Bahkan dinding itu kita dirikan di dalam pikiran.
Di dalam hati.
Sehingga kita terpisah secara total.
Kita tidak ingin saling mengenal.
Apalagi saling mengasihi.
Pada saat bersamaan kita menyeru Tuhan sebagai
Zat Yang Maha Pengasih.
Sungguh aneh, mengapa kasih Tuhan tidak menorehkan
bekas dalam diri kita untuk mengasihi sesama.
Mengapa?
Karena kita membangun dinding dalam diri kita.
(Judul: PERTEMUAN. Dibacakan di acara Dialog L intas Iman, Esoterika Forum
Spiritualitas dan Gereja Kristen Indonesia/GKI dalam rangka
Paskah dan Ramadan, 15 April 2023 di GKI Kebayoran Baru,
Panglima Polim, Jakarta Selatan).
Ini bait lain dari puisi Ahmad Gaus.
“Manusia membangun surga-surga imajiner.
Tubuh mereka di atas bumi, tapi jiwa mereka di atas
langit.
Itulah perpecahan paling tragis dalam peradaban manusia.
Sebab Tuhan adalah satu kesatuan.
Pikiran manusia memisah-misahkan.
Yang wujud dan yang gaib.
Tubuh dan jiwa.
Kita dan mereka.
Aku dan engkau.
Tuhan membuat garis lengkung pertemuan langit dan
bumi.
Tapi manusia membangun tembok pemisah yang tegar
atas nama keyakinan.
Padahal Tuhan tidak ada di dalam perpecahan.
(Judul: Bulan di Atas Menara. Dibacakan di acara: Perayaan Tahun Baru Naw-Ruz Agama
Bahai, yang diselenggarakan oleh Esoterika Forum Spiritualitas,
Selasa, 21 Maret 2023)
Juga ini cuplikan puisi karya Ahmad Gaus lainnya.
“Pandanglah sekeliling kita.
Burung-burung bersaudara dengan pepohonan.
Kupu-kupu bersaudara dengan bunga.
Sungai-sungai bersaudara dengan bebatuan.
Bulan bersaudara dengan kegelapan malam.
Bintang-bintang bersaudara dengan kesepian.
Lalu siapa saudaraku di dunia ini?
Hujan lebat dan banjir adalah saudaraku.
Debu dan angin musim kemarau adalah saudaraku.
Pohon-pohon di pinggir jalan adalah saudaraku.
Kucing-kucing dan anjing-anjing liar adalah saudaraku.
Kita adalah satu.
Tapi lihat
Di kota-kota yang dipenuhi oleh penindasan.
Setiap orang terpisah dari yang lainnya.
Semua makhluk merasa kesepian.
Karena satu sama lain ingin saling menguasai.
Setiap bentuk keyakinan merasa lebih tinggi dari
yang lainnya.
Mereka menciptakan hirarki.
untuk memuaskan ego sendiri.
Melawan hukum semesta yang serasi.
(Judul: MERAYAKAN RAKSHA BANDHAN. Dibacakan di acara Perayaan Raksha Bandhan, Esoteri ka Forum
Spiritualitas dan Brahma Kumaris, Sabtu 2 September 2023)
-000-
Penting bagi para penyair atau intelektual untuk terus mengumandangkan isu anti diskriminasi. Puisi membuat ekspresi itu lebih menyentuh hati.
Buku puisi Ahmad Gaus tentang isu ini bisa dianggap sebagai monumen.
Tapi bagaimana mekanisme sosial yang bisa membuat puisi melawan diskriminasi? Bukankah puisi bukanlah senjata atau bedil yang bisa menembak. Puisi juga bukan uang yang bisa memberi upeti.
Benar. Tapi puisi pmemiliki kekuatan yang unik dalam membangkitkan perlawanan terhadap diskriminasi.
Melalui penggunaan bahasa yang puitis dan emosional, puisi dapat menggerakkan hati, pikiran, dan tindakan banyak orang.
Puisi dapat memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, mengungkap ketidakadilan, dan menginspirasi perubahan sosial.
Berikut beberapa cara puisi dapat berperan dalam perlawanan terhadap diskriminasi, beserta contoh kisah nyata dalam sejarah.
Pertama: Menyebarkan Kesadaran. Puisi dapat mengedukasi masyarakat tentang isu-isu diskriminasi yang mungkin tidak mereka sadari atau pahami.
Dengan menggambarkan penderitaan dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok tertentu, puisi dapat membuka mata orang-orang terhadap realitas diskriminasi.
Kedua: Menginspirasi Empati dan Solidaritas. Puisi memiliki kemampuan untuk menyentuh emosi pembaca, menginspirasi empati dan solidaritas dengan para korban yang mengalami diskriminasi.
Dengan merasakan penderitaan orang lain, pembaca mungkin lebih terdorong untuk mengambil tindakan melawan ketidakadilan.
Ketiga: Memberikan Suara kepada yang Terpinggirkan. Puisi dapat memberikan platform bagi mereka yang tidak memiliki suara dalam masyarakat.
Puisi memungkinkan mereka untuk menyampaikan pengalaman dan perspektif mereka kepada audiens yang lebih luas.
Keempat: Menggalang Dukungan untuk Perubahan Sosial. Puisi dapat menjadi alat untuk menggalang dukungan bagi gerakan sosial yang berjuang melawan diskriminasi.
Dengan menginspirasi dan memotivasi orang-orang, puisi dapat membantu menggerakkan massa untuk beraksi.
Langston Hughes (1902-1967) seorang penyair Afrika-Amerika. Karyanya memainkan peran penting dalam Gerakan Hak-Hak Sipil di Amerika Serikat.
Hughes menggunakan puisi untuk menggambarkan pengalaman hidup orang Afrika-Amerika. Ia mengkritik rasisme serta ketidakadilan sosial. Puisinya "Let America Be America Again" salah satu contoh yang kuat.
“O, biarkan Amerika menjadi Amerika lagi—
Tanah yang belum pernah ada—
Namun harus ada—tanah di mana setiap orang bebas.
Tanah yang menjadi milikku—milik orang miskin, orang Indian, orang Negro.
AKU—
Yang membuat Amerika,
Yang keringat dan darahnya, iman dan sakitnya,
Yang tangannya di pabrik, yang bajaknya di tengah hujan,
Harus mengembalikan mimpi besar kita lagi.”
Pada era 1950-an dan 1960-an, Gerakan Hak-Hak Sipil di Amerika Serikat berjuang melawan segregasi rasial dan diskriminasi yang meluas.
Puisi-puisi Langston Hughes, bersama dengan karya-karya seni dan sastra lainnya, membantu menginspirasi dan memobilisasi massa untuk berjuang demi kesetaraan.
Politisi melawan diskriminasi dengan kebijakan. Tentara melawan diskriminasi dengan senjata. Tapi penyair melawan diskriminasi melalui puisi yang menyentuh hati. ***
Jakarta, 3 Juni 2024
CATATAN
(1) Puisi John Milton soal diskriminasi dan kekerasan agama
Kansas State Universityhttps://www.k-state.edu › english233John Milton, "On the Late Massacre in Piedmont"